Selasa, 31 Desember 2013

10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru Masehi

Assalamu'alaikum Sobat Mozaik Islam Tahun baru 2014 akan segera kita temui nih, mari kita kaji apa saja hubungannya dengan Islam

Bismillah..

Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha”.” (HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).[Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menyampaikan hal ini saat sesi tanya jawab-Durus Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 20 Muharram 1432 H, di Riyadh-KSA.]

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”[HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa'id Al Khudri.]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[HR. Ahmad dan Abu Daud] [Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’). Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.

“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”[ HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah.] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[HR. Bukhari no. 568]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.] Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.” Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”[HR. Tirmidzi.] Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”
Wallahu walliyut taufiq.

Sanbenito: Topi Kerucut Tahun Baru & Simbol Telah Murtad

TAUKAH KALIAN ?

Topi Tahun Baru yg berbentuk kerucut ternyata adalah topi dengan bentuk yang di sebut SANBENITO, yakni topi yg digunakan Muslim Andalusia untuk menandai bahwa mereka sudah murtad dibawah penindasan Gereja Katholik Roma yang menerapkan INKUISISI SPANYOL.

SANBENITO, TANDA MUSLIM TELAH MURTAD Ketika kaum Frank yang beragama Kristen Trinitarian menyerang Negeri Muslim Andalusia. Mereka menangkapi, menyiksa, membunuh dengan sadis kaum Muslim yang tidak mau tunduk kepada mereka.
Mereka kaum Kristen Trinitarian membentuk lembaga yang bernama Inkuisisi.
Sebuah lembaga dalam Gereja Katholik Roma yang bertugas melawan ajaran sesat, atau pengadilan atas seseorang yang didakwa bidat.
Dan dalam hal ini yang dimaksud sesat/bidat adalah MUSLIM!

Adalah sebuah pakaian yang diberi nama SANBENITO, pakaian dan topi khas yang dipakaikan kepada tawanan muslim yang telah menyerah dan mau conferso (confert/murtad).
Pakaian ini untuk membedakan mereka (para converso) dengan orang-orang lain ketika berjalan di tempat-tempat umum di Andalusia yang saat itu telah takluk di tangan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.

SANBENITO adalah sebuah pakaian yang menandakan bahwa seorang muslim di Andalusia saat itu telah MURTAD.

Bagaimana bentuk pakaian itu? Jubah dan topinya??
SANGAT IRONIS!
Kini, 6 abad setelah peristiwa yang sangat sadis tersebut berlalu, para remaja muslim, anak-anak muslim justru memakai pakaian SANBENITO untuk
merayakan TAHUN BARU MASEHI dan merayakan
ULANG TAHUN.
Meniup trompet-terompet ala topi SANBENITO di saat pergantian tahun.
Perayaan-perayaan yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah yang justru nyata-nyata berasal dari kaum Kafir.
Kaum yang telah merampas kejayaan Muslim Andalusia, dan menghancurkan sebuah peradaban maju Islam, Andalusia.

Astaghfirullah...astaghfirullah...

Setelah kita tahu sejarah ini, apakah kita masih tega memakai SANBENITO? atau membiarkan anak-anak, adik-adik, sahabat-sahabat kita memakainya? padahal 6 abad yang lalu, SANBENITO adalah pakaian tanda seorang MUSLIM TELAH MURTAD.

Minggu, 27 Oktober 2013

Memahami Konsep Islam Tentang Demokrasi (QS. Ali-Imran 159 & Asy-Syuura 38)



Definisi Demokrasi
Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Secara etimologi Demokrasi berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Inilah yang membedakan demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865): “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat luas (public) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.

Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Yusuf al-Qardhawi :
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
·         Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya
·         Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
·         Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
·         Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
·         Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi :
Menurut beliau, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi sebagai berikut:
·         Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
·         Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
·         Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
·         Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

         Prinsip- Prinsip Demokrasi Menurut Islam

Adapun prinsip-prinsip demokrasi menurut Islam meliputi :
1.         Syura (Musyawarah)
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi. Pada zaman khulafaurrasyidin lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara. Adapun yang menjadi dasar dilaksanakan nya musyawarah berdasarkan firman ALLAH SWT  dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159 dan QS. Asy-Syuura ayat 38.

QS. Ali Imran ayat 159 :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (*). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
(*) Maksudnya : urusan yang berkaitan dengan hal-hal duniawi, seperti urusan dakwah, peperangan, politik, kemasyarakatan dan lain-lainya
Pada ayat diatas disebutkan petunjuk sikap yang diperintahkan untuk dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi umatnya, khususnya ketika bermusyawarah. Walaupun secara redaksional perintah tersebut disematkan kepada Nabi SAW, namun pesan yang terdapat pada ayat tersebut bisa berlaku umum bagi tiap muslim yang melakukan musyawarah.

 Di isyaratkan pada ayat tersebut mengenai sikap yang harus dilakukan untuk mensukseskan musyawarah, sifat atau sikap tersebut yaitu sebagai berikut:
*      Lemah Lembut
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
*      Pemaaf
Sifat pemaaf dan sikap memaafkan dalam musyawarah sangat diperlukan karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kejernihan pikiran bisa hadir bersamaan dengan hilangnya kekeruhan hati. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain.
*      Meminta Ampunan Allah
Orang yang melakukan musyawarah harus menyadari kecerahan atau ketajaman pemikiran, serta analisis akal saja tidaklah cukup. Artinya, hasil pemikiran akal tidak boleh menghasilkan keputusan yang bisa melanggar aturan Allah SWT. Sayid Qutb (Tafsir Fizhilalil Qur’an) berpendapat bahwa sesungguhnya hukum dimuka bumi ini tidak ada, yang ada hanya hukum Allah SWT, maka jangan coba-coba membuat hukum tandingan untuk menandingi hukum Allah SWT (syariat Islam).
*      Membulatkan Tekad untuk melaksanakan hasil musyawarah dan bertawakal
Pesan terakhir ayat tersebut di dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai dan telah terwujud hasil kesepakatan bersama, maka hendaknya setiap peserta musyawarah bertekad bulat untuk melaksanakan hasil musyawarah kemudian bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Dengan bertawakal, maka seseorang akan bersyukur apabila apa yang diusahakan membuahkan hasil sesuai dengan harapannya. Namun apabila tidak sesuai harapan, maka dia bersabar dan tidak akan putus harapan sehingga akan berusaha kembali. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri.

QS. Asy-Syuura Ayat 38 :
     “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan    shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”

Kandungan QS. Asy-Syuura Ayat 38 :
Ayat ini menjelaskan bahwa beberapa sifat hamba Allah SWT yang baik, antara lain dirinya selalu menerima dan mematuhi seruan Allah SWT, selalu mendirikan salat yang telah diwajibkan kepadanya, serta menafkahkan sebagian rezekinya di jalan Allah.
Ayat ini juga telah mengajarkan kepada kita agar membiasakan diri melalui musyawarah dalam mengatasi berbagai persoalan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sebagai bagian dari warga negara. Dengan catatan, masalah tersebut tidak mempunyai penyelesaian atau dasar dalil yang kuat yang terdapat pada Al-Qur’an maupun hadits. Adapun bagi masalah yang sudah terdapat aturan yang jelas dan tegas di kedua sumber tersebut, maka tidak perlu dimusyawarahkan lagi.

2.     Al-‘adalah
Adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 90 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
3.         Al-Musawah
Adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
4.         Al-Amanah
Adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
5.         Al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggung jawabkan di depan Tuhan.
6.         Al-Hurriyyah
Adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

        Persamaan dan Perbedaan Islam dengan Demokrasi

      Persamaan Islam & Demokrasi
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya:
1         Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, melainkan berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
2         Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
3         Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.

       Perbedaan Islam & Demokrasi
1         Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional
2         Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
3         Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.

Rabu, 16 Oktober 2013

RUNTUHNYA DEMOKRASI [ HABIB RIZIEQ SHIHAB ]

Keruntuhan Demokrasi sudah di ambang pintu. Hal itu ditandai dengan Revolusi Tunisia yang berhasil mengusir diktator demokrasi Ben Ali, yang kemudian berlanjut dengan  Revolusi Mesir yang berhasil menggulingkan diktator demokrasi Husni Mubarok. Angin revolusi mulai berhembus ke sejumlah Negara Demokrasi Arab seperti  Al-Jazair, Yaman, Libya dan Syria. Bahkan negara-negara Demokrasi Monarki Arab pun mulai terusik, seperti  Maroko, Yordania, Saudi, dan negara-negara Teluk.

Selama ini Sistem Demokrasi hanya melahirkan diktator-diktator  dunia, dan menghasilkan koruptor kelas kakap, bahkan menciptakan kapitalis-kapitalis internasional yang rakus dan serakah. Sistem Demokrasi adalah  sumber problem yang banyak melahirkan gerombolan mafioso dan generasi oportunis, sekaligus merupakan wadah tempat bersemayamnya anjing-anjing penjilat kekuasaan. Hal tersebut  karena  Sistem Demokrasi merupakan pintu masuk kaum Kapitalis untuk meraih kekuasaan.

One man one vote dalam Sistem Demokrasi telah memberi peluang kepada kaum borjuis untuk membeli suara rakyat, sehingga saat berkuasa mereka berlomba mengeruk kekayaan untuk mengembalikan modal beli suara, sekaligus mengais keuntungan sebesar-besarnya.  Sistem Demokrasi merupakan sumber malapetaka dan kehancuran.

Sistem Demokrasi penuh intrik dan tipu muslihat, karena sistem ini selalu bertopeng kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, musyawarah dan mufakat. Padahal, justru sistem ini yang paling tidak berperikemanusiaan, lihat saja bagaimana negara-negara sekutu atas nama Demokrasi memporak-porandakan Iraq dan Afghanistan. Justru sistem ini yang paling tidak menghargai kesetaraan, buktinya kulit berwarna masih menjadi warga kelas dua di negara-negara Barat yang menganut demokrasi. Justru sistem ini yang paling tidak adil, buktinya secara terang-terangan mereka melarang warga muslimah di negeri mereka untuk berjilbab.



Soal musyawarah mufakat dalam Sistem Demokrasi hanya omong kosong. Inti Demokrasi adalah suara terbanyak, bukan musyawarah mufakat. Selain itu musyawarah dalam Demokrasi bisa menghalalkan yang haram, dan bisa pula mengharamkan yang halal. Yang penting tergantung suara terbanyak. Buktinya, Sistem Demokrasi dengan suara terbanyak bisa membolehkan perkawinan sejenis (Homo dan Lesbi), lokalisasi pelacuran, legalisasi perjudian, legitimasi aliran sesat, formalisasi korupsi dan halalisasi segala keharaman. Dan sebaliknya, Sistem Demokrasi dengan suara terbanyak juga bisa melarang jilbab, cadar, tabligh, da'wah, hisbah, pembangunan masjid, madrasah dan pesantren.

ISLAM vs DEMOKRASI

Antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi memiliki perbedaan yang sangat besar dan mendasar serta fundamental, sehingga keduanya mustahil disatukan. Islam dan Demokrasi bagaikan langit dan bumi, umpama matahari dan bulan, seperti lautan dan selokan. Dalam rangka membuka Topeng Demokrasi, maka perlu diuraikan beberapa perbedaan yang sangat prinsip dan fundamental antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi.

Pertama
Sistem Islam berasal dari sumber ilahi karena datang dari wahyu Allah Yang Maha Agung dan Maha Suci, sehingga bersifat sangat sempurna. Sedang Sistem Demokrasi berasal dari sumber insani karena datang dari akal manusia yang lemah dan penuh kekurangan, sehingga sangat tidak sempurna. Karenanya, dalam Sistem Islam hukum dari Allah SWT untuk manusia, sedang dalam Sistem Demokrasi hukum dari manusia untuk manusia.

Kedua
dalam Sistem Islam wajib digunakan Hukum Allah SWT, sedang dalam Sistem Demokrasi wajib digunakan keputusan suara terbanyak. Karenanya, Sistem Islam tunduk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedang Sistem Demokrasi tidak tunduk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Ketiga
dalam Sistem Islam tidak dipisahkan antara agama dan negara, sedang dalam Sistem Demokrasi dipisahkan antara agama dan negara. Karenanya, Islam menolak pemahaman sekuler dan segala bentuk sekularisasi dalam berbangsa dan bernegara. Sedang Demokrasi memang lahir dari penentangan terhadap  agama, sehingga Demokrasi selalu mengusung sekularisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Keempat
dalam Sistem Islam standar kebenaran adalah akal sehat yang berlandaskan Syariat, sedang dalam Sistem Demokrasi standar kebenaran adalah akal sakit yang berlandaskan hawa nafsu kelompok terbanyak. Karenanya, dalam Sistem Islam baik buruknya sesuatu ditentukan oleh Syariat, dan wajib diterima oleh akal sehat. Sedang dalam Sistem Demokrasi baik buruknya sesuatu tergantung hawa nafsu orang banyak, walau pun tidak sesuai Syariat atau pun tak masuk akal sehat.


Kelima
dalam Sistem Islam tidak sama antara suara Ulama dengan suara Awam, antara suara orang Sholeh dengan suara orang jahat. Sedang dalam Sistem Demokrasi suara semua orang sama : Ulama dan Koruptor, Guru dan Pelacur, Santri dan Penjahat, Pejuang dan Pecundang, Pahlawan dan Bajingan, tidak ada beda nilai suaranya. Karenanya, dalam Sistem Islam hanya orang baik yang diminta pendapatnya dan dinilai suaranya, itu pun suara mereka tetap disebut sebagai suara manusia. Sedang dalam Sistem Demokrasi semua orang baik dan buruk disamakan, bahkan suara mereka semua disebut sebagai suara Tuhan.


Keenam
musyawarah dalam Sistem Islam hanya menghaqkan yang haq dan membathilkan yang bathil, sedang dalam Sistem Demokrasi boleh menghaqkan yang bathil dan membathilkan yang haq. Karenanya, dalam Sistem Islam tidak ada Halalisasi yang haram atau haramisasi yang halal, apalagi haramisasi yang wajib, sedang dalam Sistem Demokrasi ada halalisasi yang haram, dan haramisasi yang halal, bahkan haramisasi yang wajib.


Ketujuh
asal-usul Sistem Islam sudah dimulai sejak zaman Nabi Adam AS, karena sejak Allah SWT menciptakan Adam AS sudah dinyatakan sebagai Khalifah di atas muka bumi sebagaimana firman-Nya dalam  QS.2.Al-Baqarah : 30. Dan Sistem Islam tersebut sempurna di zaman Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kaidah dan tatanan kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang beliau praktekkan bersama para Sahabat yang mulia. Allah SWT menyatakan kesempurnaan Islam dalam QS.5.Al-Maidah : 3. Sedang Sistem Demokrasi konon katanya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, tapi yang jelas baru muncul pasca Revolusi Kebudayaan Perancis pd Th.1789 M, yang kemudian lahir Teori Trias Politika karya Rossou, yang kemudian terus dikembangkan dengan berbagai variasi dan aksesoris, dan hingga saat ini tidak pernah sempurna, bahkan makin hari makin tampak bobrok dan busuknya.


Kedelapan
rentang waktu antara sempurnanya Sistem Islam di abad ke-7 pada zaman Nabi SAW (571 - 632 M) dan munculnya Sistem Demokrasi di abad ke 18 pasca Revolusi Kebudayaan Perancis Th.1789 M, menunjukkan bahwa Sistem Islam sekurangnya lebih dulu 11 abad dari pada Sistem Demokrasi. Karenanya, jika ada persamaan antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi, maka bisa dipastikan bahwa Sistem Demokrasi yang menyontek dan menjiplak Sistem Islam, mustahil sebaliknya.

Kesembilan
Sistem Islam telah membuktikan diri sebagai sistem terbaik yang adil, jujur dan amanah sepanjang kepemimpinan Rasulullah SAW dan Khulafa' Rasyidin, serta berhasil mengantarkan umat Islam menjadi umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.3. Ali-'Imran : 110. Sedang Sistem Demokrasi sejak kelahirannya hingga kini tak pernah berhasil membuktikan diri sebagai  sistem terbaik, bahkan sebaliknya, makin hari makin terkuak bobrok dan rusaknya.


Kesepuluh
Sistem Islam adalah bagian dari kewajiban agama, sehingga penerapannya mendatangkan pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Sedang Sistem Demokrasi bukan bagian dari kewajiban agama, bahkan merupakan penentangan terhadap agama, sehinggga penerapannya hanya akan mendatangkan dosa dan malapetaka.

ISLAM YES DEMOKRASI NO !

Dengan uraian di atas, jelas sekali bahwa Sistem Islam mengungguli Sistem Demokrasi dalam semua hal. Mulai dari keautentikan sumber dan kesempurnaannya, lalu kepatuhan kepada Syariat dan kesehatan akalnya, kemudian keaslian musyawarah dalam makna yang sebenarnya, dan kemurnian asal-usul sejarah serta keindahan peradabannya, hingga keberhasilan pembuktiannya sebagai sistem terbaik yang mendatangkan pahala dan keberkahan ilahi.

Itulah karenanya, para pemuja Demokrasi iri dan dengki terhadap Sistem Islam, dan mereka tidak rela Sistem Islam bangkit dan berjaya kembali.  Dalam dunia informasi, tiada hari tanpa propaganda media yang selalu menyudutkan Sistem Islam. Berbagai ucapan, perkataan dan pernyataan terus-menerus dilontarkan untuk memadamkan cahaya Islam. Namun demikian, cahaya Islam akan tetap bersinar, dan akan kembali memperoleh masa jayanya, sebagaimana Allah SWT firmankan dalam QS.61.Ash-Shaff : 8 - 9 dan QS.9.At-Taubah: 32 - 33.