Minggu, 27 Oktober 2013

Memahami Konsep Islam Tentang Demokrasi (QS. Ali-Imran 159 & Asy-Syuura 38)



Definisi Demokrasi
Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Secara etimologi Demokrasi berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Inilah yang membedakan demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865): “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat luas (public) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.

Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Yusuf al-Qardhawi :
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
·         Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya
·         Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
·         Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
·         Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
·         Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi :
Menurut beliau, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi sebagai berikut:
·         Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
·         Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
·         Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
·         Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

         Prinsip- Prinsip Demokrasi Menurut Islam

Adapun prinsip-prinsip demokrasi menurut Islam meliputi :
1.         Syura (Musyawarah)
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi. Pada zaman khulafaurrasyidin lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara. Adapun yang menjadi dasar dilaksanakan nya musyawarah berdasarkan firman ALLAH SWT  dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159 dan QS. Asy-Syuura ayat 38.

QS. Ali Imran ayat 159 :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (*). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
(*) Maksudnya : urusan yang berkaitan dengan hal-hal duniawi, seperti urusan dakwah, peperangan, politik, kemasyarakatan dan lain-lainya
Pada ayat diatas disebutkan petunjuk sikap yang diperintahkan untuk dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi umatnya, khususnya ketika bermusyawarah. Walaupun secara redaksional perintah tersebut disematkan kepada Nabi SAW, namun pesan yang terdapat pada ayat tersebut bisa berlaku umum bagi tiap muslim yang melakukan musyawarah.

 Di isyaratkan pada ayat tersebut mengenai sikap yang harus dilakukan untuk mensukseskan musyawarah, sifat atau sikap tersebut yaitu sebagai berikut:
*      Lemah Lembut
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
*      Pemaaf
Sifat pemaaf dan sikap memaafkan dalam musyawarah sangat diperlukan karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kejernihan pikiran bisa hadir bersamaan dengan hilangnya kekeruhan hati. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain.
*      Meminta Ampunan Allah
Orang yang melakukan musyawarah harus menyadari kecerahan atau ketajaman pemikiran, serta analisis akal saja tidaklah cukup. Artinya, hasil pemikiran akal tidak boleh menghasilkan keputusan yang bisa melanggar aturan Allah SWT. Sayid Qutb (Tafsir Fizhilalil Qur’an) berpendapat bahwa sesungguhnya hukum dimuka bumi ini tidak ada, yang ada hanya hukum Allah SWT, maka jangan coba-coba membuat hukum tandingan untuk menandingi hukum Allah SWT (syariat Islam).
*      Membulatkan Tekad untuk melaksanakan hasil musyawarah dan bertawakal
Pesan terakhir ayat tersebut di dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai dan telah terwujud hasil kesepakatan bersama, maka hendaknya setiap peserta musyawarah bertekad bulat untuk melaksanakan hasil musyawarah kemudian bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Dengan bertawakal, maka seseorang akan bersyukur apabila apa yang diusahakan membuahkan hasil sesuai dengan harapannya. Namun apabila tidak sesuai harapan, maka dia bersabar dan tidak akan putus harapan sehingga akan berusaha kembali. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri.

QS. Asy-Syuura Ayat 38 :
     “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan    shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”

Kandungan QS. Asy-Syuura Ayat 38 :
Ayat ini menjelaskan bahwa beberapa sifat hamba Allah SWT yang baik, antara lain dirinya selalu menerima dan mematuhi seruan Allah SWT, selalu mendirikan salat yang telah diwajibkan kepadanya, serta menafkahkan sebagian rezekinya di jalan Allah.
Ayat ini juga telah mengajarkan kepada kita agar membiasakan diri melalui musyawarah dalam mengatasi berbagai persoalan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sebagai bagian dari warga negara. Dengan catatan, masalah tersebut tidak mempunyai penyelesaian atau dasar dalil yang kuat yang terdapat pada Al-Qur’an maupun hadits. Adapun bagi masalah yang sudah terdapat aturan yang jelas dan tegas di kedua sumber tersebut, maka tidak perlu dimusyawarahkan lagi.

2.     Al-‘adalah
Adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 90 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
3.         Al-Musawah
Adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
4.         Al-Amanah
Adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
5.         Al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggung jawabkan di depan Tuhan.
6.         Al-Hurriyyah
Adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

        Persamaan dan Perbedaan Islam dengan Demokrasi

      Persamaan Islam & Demokrasi
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya:
1         Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, melainkan berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
2         Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
3         Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.

       Perbedaan Islam & Demokrasi
1         Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional
2         Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
3         Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.

Rabu, 16 Oktober 2013

RUNTUHNYA DEMOKRASI [ HABIB RIZIEQ SHIHAB ]

Keruntuhan Demokrasi sudah di ambang pintu. Hal itu ditandai dengan Revolusi Tunisia yang berhasil mengusir diktator demokrasi Ben Ali, yang kemudian berlanjut dengan  Revolusi Mesir yang berhasil menggulingkan diktator demokrasi Husni Mubarok. Angin revolusi mulai berhembus ke sejumlah Negara Demokrasi Arab seperti  Al-Jazair, Yaman, Libya dan Syria. Bahkan negara-negara Demokrasi Monarki Arab pun mulai terusik, seperti  Maroko, Yordania, Saudi, dan negara-negara Teluk.

Selama ini Sistem Demokrasi hanya melahirkan diktator-diktator  dunia, dan menghasilkan koruptor kelas kakap, bahkan menciptakan kapitalis-kapitalis internasional yang rakus dan serakah. Sistem Demokrasi adalah  sumber problem yang banyak melahirkan gerombolan mafioso dan generasi oportunis, sekaligus merupakan wadah tempat bersemayamnya anjing-anjing penjilat kekuasaan. Hal tersebut  karena  Sistem Demokrasi merupakan pintu masuk kaum Kapitalis untuk meraih kekuasaan.

One man one vote dalam Sistem Demokrasi telah memberi peluang kepada kaum borjuis untuk membeli suara rakyat, sehingga saat berkuasa mereka berlomba mengeruk kekayaan untuk mengembalikan modal beli suara, sekaligus mengais keuntungan sebesar-besarnya.  Sistem Demokrasi merupakan sumber malapetaka dan kehancuran.

Sistem Demokrasi penuh intrik dan tipu muslihat, karena sistem ini selalu bertopeng kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, musyawarah dan mufakat. Padahal, justru sistem ini yang paling tidak berperikemanusiaan, lihat saja bagaimana negara-negara sekutu atas nama Demokrasi memporak-porandakan Iraq dan Afghanistan. Justru sistem ini yang paling tidak menghargai kesetaraan, buktinya kulit berwarna masih menjadi warga kelas dua di negara-negara Barat yang menganut demokrasi. Justru sistem ini yang paling tidak adil, buktinya secara terang-terangan mereka melarang warga muslimah di negeri mereka untuk berjilbab.



Soal musyawarah mufakat dalam Sistem Demokrasi hanya omong kosong. Inti Demokrasi adalah suara terbanyak, bukan musyawarah mufakat. Selain itu musyawarah dalam Demokrasi bisa menghalalkan yang haram, dan bisa pula mengharamkan yang halal. Yang penting tergantung suara terbanyak. Buktinya, Sistem Demokrasi dengan suara terbanyak bisa membolehkan perkawinan sejenis (Homo dan Lesbi), lokalisasi pelacuran, legalisasi perjudian, legitimasi aliran sesat, formalisasi korupsi dan halalisasi segala keharaman. Dan sebaliknya, Sistem Demokrasi dengan suara terbanyak juga bisa melarang jilbab, cadar, tabligh, da'wah, hisbah, pembangunan masjid, madrasah dan pesantren.

ISLAM vs DEMOKRASI

Antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi memiliki perbedaan yang sangat besar dan mendasar serta fundamental, sehingga keduanya mustahil disatukan. Islam dan Demokrasi bagaikan langit dan bumi, umpama matahari dan bulan, seperti lautan dan selokan. Dalam rangka membuka Topeng Demokrasi, maka perlu diuraikan beberapa perbedaan yang sangat prinsip dan fundamental antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi.

Pertama
Sistem Islam berasal dari sumber ilahi karena datang dari wahyu Allah Yang Maha Agung dan Maha Suci, sehingga bersifat sangat sempurna. Sedang Sistem Demokrasi berasal dari sumber insani karena datang dari akal manusia yang lemah dan penuh kekurangan, sehingga sangat tidak sempurna. Karenanya, dalam Sistem Islam hukum dari Allah SWT untuk manusia, sedang dalam Sistem Demokrasi hukum dari manusia untuk manusia.

Kedua
dalam Sistem Islam wajib digunakan Hukum Allah SWT, sedang dalam Sistem Demokrasi wajib digunakan keputusan suara terbanyak. Karenanya, Sistem Islam tunduk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedang Sistem Demokrasi tidak tunduk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Ketiga
dalam Sistem Islam tidak dipisahkan antara agama dan negara, sedang dalam Sistem Demokrasi dipisahkan antara agama dan negara. Karenanya, Islam menolak pemahaman sekuler dan segala bentuk sekularisasi dalam berbangsa dan bernegara. Sedang Demokrasi memang lahir dari penentangan terhadap  agama, sehingga Demokrasi selalu mengusung sekularisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Keempat
dalam Sistem Islam standar kebenaran adalah akal sehat yang berlandaskan Syariat, sedang dalam Sistem Demokrasi standar kebenaran adalah akal sakit yang berlandaskan hawa nafsu kelompok terbanyak. Karenanya, dalam Sistem Islam baik buruknya sesuatu ditentukan oleh Syariat, dan wajib diterima oleh akal sehat. Sedang dalam Sistem Demokrasi baik buruknya sesuatu tergantung hawa nafsu orang banyak, walau pun tidak sesuai Syariat atau pun tak masuk akal sehat.


Kelima
dalam Sistem Islam tidak sama antara suara Ulama dengan suara Awam, antara suara orang Sholeh dengan suara orang jahat. Sedang dalam Sistem Demokrasi suara semua orang sama : Ulama dan Koruptor, Guru dan Pelacur, Santri dan Penjahat, Pejuang dan Pecundang, Pahlawan dan Bajingan, tidak ada beda nilai suaranya. Karenanya, dalam Sistem Islam hanya orang baik yang diminta pendapatnya dan dinilai suaranya, itu pun suara mereka tetap disebut sebagai suara manusia. Sedang dalam Sistem Demokrasi semua orang baik dan buruk disamakan, bahkan suara mereka semua disebut sebagai suara Tuhan.


Keenam
musyawarah dalam Sistem Islam hanya menghaqkan yang haq dan membathilkan yang bathil, sedang dalam Sistem Demokrasi boleh menghaqkan yang bathil dan membathilkan yang haq. Karenanya, dalam Sistem Islam tidak ada Halalisasi yang haram atau haramisasi yang halal, apalagi haramisasi yang wajib, sedang dalam Sistem Demokrasi ada halalisasi yang haram, dan haramisasi yang halal, bahkan haramisasi yang wajib.


Ketujuh
asal-usul Sistem Islam sudah dimulai sejak zaman Nabi Adam AS, karena sejak Allah SWT menciptakan Adam AS sudah dinyatakan sebagai Khalifah di atas muka bumi sebagaimana firman-Nya dalam  QS.2.Al-Baqarah : 30. Dan Sistem Islam tersebut sempurna di zaman Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kaidah dan tatanan kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang beliau praktekkan bersama para Sahabat yang mulia. Allah SWT menyatakan kesempurnaan Islam dalam QS.5.Al-Maidah : 3. Sedang Sistem Demokrasi konon katanya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, tapi yang jelas baru muncul pasca Revolusi Kebudayaan Perancis pd Th.1789 M, yang kemudian lahir Teori Trias Politika karya Rossou, yang kemudian terus dikembangkan dengan berbagai variasi dan aksesoris, dan hingga saat ini tidak pernah sempurna, bahkan makin hari makin tampak bobrok dan busuknya.


Kedelapan
rentang waktu antara sempurnanya Sistem Islam di abad ke-7 pada zaman Nabi SAW (571 - 632 M) dan munculnya Sistem Demokrasi di abad ke 18 pasca Revolusi Kebudayaan Perancis Th.1789 M, menunjukkan bahwa Sistem Islam sekurangnya lebih dulu 11 abad dari pada Sistem Demokrasi. Karenanya, jika ada persamaan antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi, maka bisa dipastikan bahwa Sistem Demokrasi yang menyontek dan menjiplak Sistem Islam, mustahil sebaliknya.

Kesembilan
Sistem Islam telah membuktikan diri sebagai sistem terbaik yang adil, jujur dan amanah sepanjang kepemimpinan Rasulullah SAW dan Khulafa' Rasyidin, serta berhasil mengantarkan umat Islam menjadi umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.3. Ali-'Imran : 110. Sedang Sistem Demokrasi sejak kelahirannya hingga kini tak pernah berhasil membuktikan diri sebagai  sistem terbaik, bahkan sebaliknya, makin hari makin terkuak bobrok dan rusaknya.


Kesepuluh
Sistem Islam adalah bagian dari kewajiban agama, sehingga penerapannya mendatangkan pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Sedang Sistem Demokrasi bukan bagian dari kewajiban agama, bahkan merupakan penentangan terhadap agama, sehinggga penerapannya hanya akan mendatangkan dosa dan malapetaka.

ISLAM YES DEMOKRASI NO !

Dengan uraian di atas, jelas sekali bahwa Sistem Islam mengungguli Sistem Demokrasi dalam semua hal. Mulai dari keautentikan sumber dan kesempurnaannya, lalu kepatuhan kepada Syariat dan kesehatan akalnya, kemudian keaslian musyawarah dalam makna yang sebenarnya, dan kemurnian asal-usul sejarah serta keindahan peradabannya, hingga keberhasilan pembuktiannya sebagai sistem terbaik yang mendatangkan pahala dan keberkahan ilahi.

Itulah karenanya, para pemuja Demokrasi iri dan dengki terhadap Sistem Islam, dan mereka tidak rela Sistem Islam bangkit dan berjaya kembali.  Dalam dunia informasi, tiada hari tanpa propaganda media yang selalu menyudutkan Sistem Islam. Berbagai ucapan, perkataan dan pernyataan terus-menerus dilontarkan untuk memadamkan cahaya Islam. Namun demikian, cahaya Islam akan tetap bersinar, dan akan kembali memperoleh masa jayanya, sebagaimana Allah SWT firmankan dalam QS.61.Ash-Shaff : 8 - 9 dan QS.9.At-Taubah: 32 - 33.

Kapal Nabi Nuh Diduga Berasal dari Indonesia


SEJAK ditemukannya situs kapal Nabi Nuh AS oleh Angkatan Udara Amerika serikat, tahun 1949, yang menemukan benda mirip kapal di atas Gunung Ararat-Turki dari ketinggian 14.000 feet (sekitar 4.600 M). Dan di muat dalam berita Life Magazine pada 1960, saat pesawat Tentara Nasional Turki menangkap gambar sebuah benda mirip kapal yang panjangnya sekitar 150 M. Penelitian dan pemberitaan tentang dugaan kapal Nabi Nuh AS (The Noah’s Ark) terus berlanjut hingga kini.
Seri pemotretan oleh penerbang Amerika Serikat, Ikonos pada 1999-2000 tentang adanya dugaan kapal di Gunung Ararat yang tertutup salju, menambah bukti yang memperkuat dugaan kapal Nabi Nuh AS itu. Kini ada penelitan terbaru tentang dari mana kapal Nabi Nuh AS itu berangkat. Atau di mana kapal Nabi Nuh AS itu dibuat?
Baru-baru ini, gabungan peneliti arkeolog-antropolgy dari dua negara, China dan Turki, beranggotakan 15 orang, yang juga membuat film dokumenter tentang situs kapal Nabi Nuh AS itu, menemukan bukti baru. Mereka mengumpulkan artefak dan fosil-fosil berupa; serpihan kayu kapal, tambang dan paku.
Hasil Laboratorium Noah’s Ark Minesteries International, China-Turki, setelah melakukan serangkaian uji materi fosil kayu oleh tim ahli tanaman purba, menunjukan bukti yang mengejutkan, bahwa fosil kayu Kapal Nabi Nuh AS berasal dari kayu jati yang ada di Pulau Jawa.
Mereka telah meneliti ratusan sample kayu purba dari berbagai negara, dan memastikan, bahwa fosil kayu jati yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah 100 persen cocok dengan sample fosil kayu Kapal Nabi Nuh AS. Sebagaimana diungkap oleh Yeung Wing, pembuat film documenter The Noah’s Ark, saat melakukan konfrensi pers di Hongkong, Senin (26/4/2010) yang lalu.
“Saya meyakini 99 persen, bahwa situs kapal di Gunung Ararat, Turki adalah merupakan fosil Kapal Nuh yang ribuan tahun lalu terdampar di puncak gunung itu, setelah banjir besar menenggelamkan dunia dalam peristiwa mencairnya gleser di kedua kutub” Jelas Yeung Wing
Pendapat National Turk
Dr.Mehmet Salih Bayraktutan PhD, yang sejak 20 Juni 1987 turut meneliti dan mempopulerkan situs Kapal Nabi Nuh AS, mengatakan: “Perahu ini adalah struktur yang dibuat oleh tangan manusia.” Dalam artikelnya juga mengatakan, lokasinya di Gunung Judi (Ararat) yang disebut dalam Al Qur’an, Surat Hud ayat 44. Sedangkan dalam injil: Perahu itu terdampar diatas Gunung Ararat (Genesis 8 : 4).
Menurut peneliti The Noah’s Ark, kapal dibuat di puncak gunung oleh Nabi Nuh AS, tak jauh dari desanya. Lalu berlayar ke anta beranta, saat dunia ditenggelamkan oleh banjir besar. Berbulan-bulan kemudian, kapal Nabi Nuh AS merapat ke sebuah daratan asing. Ketika air menjadi surut, maka tersibaklah bahwa mereka terdampar di puncak sebuah gunung.
Bila fosil kayu kapal itu menunjukan berasal dari Kayu jati, dan itu hanya tumbuh di Indonesia jaman purba, boleh jadi Nabi Nuh AS dan umatnya dahulu tinggal di sana. Saat ini kita dapat saksikan dengan satelit, bahwa gugusan ribuan pulau itu (Nusantara), dahulu merupakan daratan yang luas.
Sedangkan Dr.Bill Shea, seorang antropolog, menemukan pecahan-pecahan tembikar sekitar 18 M dari situs kapal Nabi Nuh AS. Tembikar ini memiliki ukiran-ukiran burung, ikan dan orang yang memegang palu dengan memakai hiasan kepala bertuliskan Nuh.
Dia menjelaskan, pada jaman kuno, barang-barang tersebut dibuat oleh penduduk lokal di desa itu untuk dijual kepada para peziarah situs kapal. “Sejak jaman kuno hingga saat ini, fosil kapal tersebut telah menjadi lokasi wisata,” ujarnya. (PO)
Sumber: Singa Barong Community

Dakwah dan jihad, jalan hidup mu'min sejati

Oleh: Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman

Di medan da’wah dan jihad, pada diri seorang muslim sering muncul sifat dan watak tidak adil, berpura-pura dan munafiq. Seperti saat ini yang sebagian daripada ulama’, da’i dan muballigh yang ada cenderung kepada sifat tidak tegas dan berani. Mereka acapkali memilih dan memilah ayat-ayat suci al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw, sehingga tidak mendawamkannya secara utuh.
Ketika ada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw yang dianggap mendatangkan ‘bahaya’ bagi kenikmatan hidup dunianya jika ayat-ayat dan hadits itu dibaca dan diterangkan, maka mereka menyimpannya rapat-rapat seakan-akan ayat–ayat itu apabila dibaca dan diterangkan akan mendatangkan marabahaya kepada diri dan keluarganya dan memusnahkan kehidupan dunianya.
Namun bila bertemu dengan ayat-ayat yang dipandang ‘aman’ bagi keberlangsungan dakwah dan mendatangkan keuntungan bagi ‘pundi-pundi’nya, mereka lantas membacanya, menerangkannya sedemikian fasih, dengan bahasa dan retorika yang mengagumkan, serta dengan lagu dan irama yang sangat indah dan mempesona. Sehingga diantara pengagum dakwahnya ada yang berkata, ”Sungguh hebat da’i ini, dia sangat pandai merangkai kata penghias bahasa, ucapan-ucapannya lembut menusuk qalbu, mudah difahami dan tidak membebani jiwa-jiwa.” Sementara yang lain berkata, “Aku senang dengan da’i ini, dia lucu sehingga kalau mendengarnya berceramah, mata jadi nggak ngantuk…”
Inilah kenyataan yang terjadi pada para pendakwah saat ini, dimana mereka digelari dengan berbagai gelar bak selebriti. Begitu juga tawaran untuk tampil memukau di layar gelas dan terpampang di papan-papan reklame membuat ‘jam terbang’ mereka kontan begitu tinggi dengan pemasukan rupiah yang juga melesat tinggi. Apalah daya, dunia memang telah menjanjikan kemanisan dan memperlihatkan perhiasannya, sehingga sifat istiqomah untuk tegas dalam dakwah perlahan harus terkikis karena dihadapkan dengan sebuah konsekuensi.
Inilah ketidak-adilan dan kemunafiqan yang senantiasa terwujud di tengah kehidupan sebagian ulama, da’i dan muballigh umat Islam saat ini, sehingga umat kebingungan karena sifat mereka yang lebih mementingkan kehidupan dunianya daripada keberanian menegakkan tauhid dan syari’at agamanya. Benarlah apa yang Allah Ta’ala firmankan berikut,
Artinya, “Orang-orang mukmin Madinah berkata, “Alangkah baiknya sekiranya diturunkan sebuah surah al-Qur’an yang jelas tentang perintah perang.” Wahai Muhammad, ketika surah al-Qur’an yang jelas tentang perintah perang diturunkan, kamu saksikan orang-orang munafik itu memandang kamu dengan ke­bingungan karena takut mati. Seharusnya yang lebih patut mereka lakukan adalah taat dan menyambut secara baik perkara yang telah diperintahkan oleh Allah. Bila orang-orang itu jujur kepada Allah, niscaya menaati perintah perang itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad, 47: 20-21)
As-Syahid Sayyid Qutb berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Inilah salah satu sifat dan ciri orang munafiq; keteguhan hati mereka hilang, tabir sifat riya’ yang menutupi mereka pun tersingkap, ketakutan dan kelemahan jiwa mereka terbaca apabila menghadapi perintah berjihad. Mereka telah digambarkan oleh al-Qur’an sebagai seorang lelaki yang sangat memalukan, pengecut dan penakut, berlagak seperti seorang pahlawan di medan perang tetapi hakekatnya pendusta dan penipu. Ungkapan al-Qur’an tentang “Engkau dapat melihat hati mereka berpenyakit (kufur dan nifaq), mereka memandangmu seperti pandangan orang pingsan karena takut mati,” dimaksudkan bahwa karena ketakutannya—mereka menjadi sangat gelisah, karena kelemahan hati—mereka menjadi menggigil, dan karena kepengecutan—mereka diibaratkan seperti orang yang sampai ke tahap pingsan. Sungguh terdapat perbedaan yang sangat jauh dengan karakter orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka siap menjual dunianya untuk akhiratnya, siap berkorban harta dan jiwa, berjihad di jalan Allah demi mencapai syahid fisabilillah untuk kemuliaan di hari akhirat seperti yang Allah Ta’ala firmankan berikut,
Artinya, “Orang-orang yang mengutamakan pahala akhirat daripada kehidupan dunia, hendaklah mereka berperang untuk membela Islam. Siapa saja yang berperang untuk membela Islam, baik ia terbunuh atau menang, Kami akan memberikan pahala yang sangat besar kepadanya di akhirat.” (QS. an-Nisa’, 4:74)
Mendakwahkan yang haq bukan hanya pekerjaan rutin yang harus disandang oleh para da’i, ulama, atau muballigh semata, akan tetapi adalah tugas dari setiap pribadi muslim. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَ لَوْ أَيَةً, وَ حَدِّثُوا عَنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ وَ لَا حَرَجَ, وَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَليَتَبَوَأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Artinya, “Sampaikanlah olehmu daripadaku meskipun hanya satu ayat, dan ceritakanlah bani israil dan tidak berdosa, dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah menempatkan dirinya dalam neraka.” (HR. Bukhari)
Ia adalah panggilan atau seruan kepada Allah Ta’ala dengan menyampaikan atau mengajarkan wahyu-Nya kepada umat manusia. Firman-Nya,
Artinya, “Wahai Muhammad, katakanlah, “Inilah jalanku. Aku mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dengan hujah yang benar. Aku ber­sama para pengikutku mengikuti agama Allah. Mahasuci Allah dan aku sama sekali tidak mau termasuk golongan kaum musyrik.” (QS. Yusuf, 12:108)
Ayat tersebut diatas menjelaskan definisi dakwah secara menyeluruh, yaitu menyeru manusia kepada jalan Allah dan untuk kepentingan agama-Nya, bukan untuk kepentingan para da’i atau pengikutnya. Tiada satu balasan yang diharapkannya dari orang-orang yang mendapat hidayah karena dakwahnya, melainkan semata-mata mengharapkan ganjaran pahala dari Allah azza wa jalla. Sebagaimana para nabi dan Rasul terdahulu yang banyak dikisahkan dalam al-Qur’an.
Dakwah adalah sebaik-baik tugas dan semulia-mulia ucapan yang keluar dari lisan seorang muslim, seperti yang difirmankan-Nya,
Artinya, “Apakah ada orang yang lebih baik daripada orang yang menyeru kepada ajaran tauhid dan taat kepada Allah semata-mata serta beramal shalih, dan dia berkata: “Sungguh aku termasuk kaum muslim?”(QS. Fushilat, 41:33)
Oleh karena itu, orang-orang yang sholih adalah muslim yang senantiasa selalu tegak dengan tugas dakwah ini dalam setiap situasi dan kondisi. Mereka tidak terlena ataupun berhenti dari medan dakwahnya. Mereka amat memahami fungsi dan tujuan dakwah yang sesungguhnya, yaitu sebagaiiqomatul hujjah sehingga tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk membantah dan melakukan penyelewengan terhadap syari’at-Nya. Allah Ta’ala telah berfirman,
Artinya, “Para rasul menyampaikan kabar gembira dan ancaman kepada umat­nya agar kelak di akhirat tidak ada alasan bagi umat-umat para nabi itu untuk membantah Allah dengan me­ngatakan bahwa Allah tidak meng­utus rasul-rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Mahaperkasa menghukum kaum yang durhaka dan Mahabijak­sana dalam memilih hamba-hamba-Nya yang dijadikan rasul.“ (QS. an-Nisa’, 4:165)
Juga firman-Nya,
Artinya, “Wahai Muhammad, ingatlah ketika sebagian pendeta Yahudi ber­kata kepada pengikutnya: “Mengapa kalian memberi nasehat kepada teman-teman kalian yang melanggar aturan Allah tentang hari Sabat? Orang-orang itu akan Allah binasakan, atau mereka akan diadzab di akhirat dengan adzab yang berat.” Para pemberi nasehat itu berkata: “Kami tidak ingin disalahkan oleh Tuhan kalian kelak di akhirat. Mudah-mudahan orang-orang yang durhaka itu mau taat kepada Allah.” (QS. al-A’raf, 7:164)
Adapun metodologi dakwah yang semestinya dipenuhi oleh seorang pendakwah diantaranya adalah bahwa segala perkara harus ia sampaikan dengan benar dan tegas tanpa bercampur dengan syubhat, kemudian ia menyampaikannya dengan hikmah dan mau’idzhah hasanah, dan yang sangat penting adalah ia tidak menambah ataupun mengurangi satu hurufpun dari materi dakwah. Seperti yang Allah Ta’ala serukan dalam firman-Nya,
Artinya, “Apabila dibacakan Al-Qur’an yang berisikan kebenaran yang jelas kepada orang-orang yang tidak mengharap­kan bertemu dengan Kami, mereka berkata: “Wahai Muhammad, datang­kanlah Al-Qur’an yang lain atau tukar­lah isinya dengan hal lain yang kami senangi.” Wahai Muhammad, kata­kanlah kepada kaum kafir: “Aku sama sekali tiada punya hak untuk meng­gantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku takut adzab Tuhanku yang sangat hebat pada hari kiamat, se­kiranya aku durhaka kepada Tuhanku.” (QS. Yunus, 10:15)
Sementara itu, dakwah di jalan Allah Ta’ala mestilah memiliki penopang yang memungkinkannya diterima oleh para mad’u (sasaran dakwah). Penopang yang dimaksud ada yang bersifat maknawi dan ada yang bersifat materil. Adapun penopang yang bersifat maknawi adalah sifat atau karakter yang dimiliki oleh para da’i tersebut, seperti keilmuan terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, kecakapan, kecerdasan, kefasihan bicara, memiliki ketetapan hati dan kesadaran penuh akan misinya meluruskan umat. Diantara yang demikian, penopang yang juga merupakan faktor penting adalah memiliki keberanian yang mendorong mereka untuk menyatakan dan menyuarakan kebenaran tanpa takut terhadap apapun kecuali Allah Ta’ala. Pun sudah seharusnya para da’i memiliki kesiapan rohani untuk memikul resiko perjuangan akan dakwahnya. Karena ada kalanya dakwah haq yang disampaikannya mendapat pertentangan, baik yang disampaikan dengan lisan maupun yang ditunjukkan dengan perlakuan yang arogan dan menyakitkan. Namun seorang pendakwah yang sudah memahami jalan yang sudah ditempuh oleh para nabi dan orang-orang sholih terdahulu akan senantiasa mengingat akan firman-Nya yang mengatakan,
Artinya, “Wahai Muhammad, Kami mengeta­hui bahwa kamu merasa sedih karena ejekan orang-orang kafir. Sebenarnya orang-orang kafir tidaklah mendusta­kan kamu, tetapi mereka mencelakakan diri mereka sendiri karena mereka telah berlaku zhalim kepada Al-Qur’an de­ngan cara mengingkari kebenarannya.”(QS. al-An’am, 6:33)
Adapun penopang yang bersifat materil diantaranya adalah adanya keluarga yang turut mendukung berjalannya dakwah tersebut dan adanya kemampuan dana yang membantu memudahkan terlaksananya dakwah. Namun yang paling terpenting adalah sifat dan karakteristik dari si penyampai dakwah itu sendiri. Para du’at juga sudah semestinya memiliki sifat-sifat memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebenaran yang haq, memiliki keberanian untuk menyampaikan sebuah kebenaran sehingga tidak takut terhadap ancaman atau resiko atas dakwah yang disampaikannya.
Al-Ashbahani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra tentang sebuah sabda Rasulullah berikut,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ, مُرُوا بِالْمَعْرُوْفِ وَ انْهُوْا عَنِ الْمُنْكَرِ قَبْلَ أَنْ تَدْعُوا اللهَ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ وَ قَبْلَ أَنْ تَسْتَغْفِرُوْهُ فَلَا يَغْفِرُ لَكُمْ, إِنَّ الْاَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لَا تَدْفَعُ رِزْقًا وَ لَا يُقْرِبُ أَجَلًا, وَ إِنَّ لْأَحْبَارَ مِنَ الْيَهُوْدِ وَ الرُّهْبَانِ مِنَ النَّصَارَى لَمَّ تَرَكُوا الْأَمْرَ بِالْمَعْرُفِ وَ النَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ لَعَنَهُمُ اللهُ عَلَى لِسَانِ أَنْبِيَائِهِمْ ثُمَّ عَمُّوا بِالْبَلاَءِ.
Artinya, “Wahai semua manusia, anjurkanlah kebaikan dan cegahlah semua yang munkar sebelum kamu minta ampun dan tidak diampuni. Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi munkar itu tidak akan menolak rezeki dan tidak akan mendekati ajal. Sedangkan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani dahulu ketika mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dikritik oleh Allah atas lidah nabi-nabi mereka, kemudian diratakan bala’ atas mereka semua.” (Targhib wa at-Tarhib, 3/162, no. 3497 dan Mazma’ az-Zawaaid, 7/266)
Pertentangan, penolakan, atau usaha mematikan dakwah senantiasa akan selalu muncul dan mengiringi perjuangan dakwah seseorang. Ini merupakan sunnatullah yang telah berjalan sejak masanya para nabi dan rasul terdahulu, sehingga Rasulullah pernah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra berikut,
اَلْمُؤْمِنُ بَيْنَ خَمْسِ شَدَائِدَ: مُؤْمِنٌ يَحْسُدُهُ وَ مُنَافِقٌ يُبْضِغُهُ وَ كَافِرٌيُقَاتِلُهُ وَ نَفْسٌ تُنَازِعُهُ وَ شَيْطَانٌ يُضِلُّهُ.
Artinya, “Orang mukmin senantiasa berhadapan dengan lima ujian yang menyusahkannya, yaitu oleh mukmin yang selalu mendengkinya, oleh munafiq yang selalu membencinya, oleh kafir yang selalu memeranginya, oleh nafsu yang selalu bertarung untuk mengalahkannya, dan oleh setan yang selalu ingin menyesatkannya.”
Namun demikian, seorang mukmin akan selalu berusaha agar dirinya berada dalam satu barisan dengan kaum mukmin yang berjuang mendakwahkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Ia senantiasa menguatkan iman dan tauhidnya, serta mengokohkan tekadnya untuk menghidupkan kehidupannya di jalan Allah Ta’ala. Ia begitu antusias menyampaikan yang haq yang telah diketahuinya kepada umat dan sebagai rasa cinta serta tanggung-jawabnya untuk memberikan fadhilah dakwah, diantaranya yaitu sebagai obat hati bagi jiwa manusia yang sakit serta menghidupkannya, sebagai wasilah untuk mengeluarkan kesesatan manusia kepada hidayah-Nya, serta untuk membantu manusia dalam menghindari azab-Nya.
Oleh sebab itu derajat seorang mukmin yang mencurahkan jiwa dan hidupnya untuk meniti jalan dakwah yang haq berada diatas mukmin lainnya, sebab ia adalah salah-satu dari pewaris para nabi dan rasul yang bertugas sebagai penerus lisan-lisan mereka.
Sudah amat dipahami bahwa dakwah memiliki kaitan yang sangat erat dengan syari’at Allah Ta’ala lainnya yaitu al- jihad. Dalam Islam sebenarnya jihad bukanlah suatu tujuan, akan tetapi merupakan satu washilahatau jalan untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh belahan dunia. Al-jihad bukanlah sebuah letupan sporadis yang kemudian diiringi dengan kevakuman yang panjang, atau bukanlah suatu luapan semangat fanatisme yang kemudian dilanjutkan dengan sikap berdiam-diri setelah melaksanakannya, atau juga bukanlah revolusi kebendaan yang selanjutnya disusul dengan kecondongan kepada materi serta kecenderungan kepada kesenangan duniawi. Tidaklah jihad melainkan ia adalah sebuah upaya untuk menopang keberlangsungan misi dakwah akan dien dan syari’at-Nya di muka bumi, sehingga jihad bukanlah semata perang yang orientasi utamanya adalah kemenangan di lapangan tempur namun vakum dari mendawamkan yang haq.
Jihad berasal dari kata al-juhd yaitu upaya dan kesulitan. Dikatakan jaahada, yujaahidu, jihaadan danmujahaadatan yang artinya mengerahkan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi kesulitan guna memerangi musuh dan menahan agresinya. Dalam pengertian modern dikenal dengan sebutan al-harb (perang), yakni pertempuran antara dua negara atau lebih.
Adapun jihad menurut bahasanya berasal dari kata al-jahdu dan al-juhdu, yakni kekuatan dan kemampuan. Mujaahadatun wa jihadan bermakna mengarahkan dan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan dalam wujud perbuatan dan perkataan dalam perang. Ada yang mengatakan bahwa kata al-jahdu maknanya adalah kepayahan, berlebih-lebih sampai puncak. Sedangkan al-juhdu maknanya ialah daya dan kemampuan. Dan dari asal kata jahada-yahjadu-juhdan serta ijtahada, keduanya bermaknajadda (bersungguh-sungguh).
Perang merupakan hal yang biasa terjadi pada kehidupan manusia dan hampir tidak ada suatu bangsa atau satu generasi pun yang luput dalam catatan sejarahnya dari peristiwa peperangan. Lebih dari itu, perang dibenarkan oleh undang-undang atau syari’at Allah yang ada dalam Islam.
Al-jihad sendiri memiliki beberapa tingkatan, yang terbagi menjadi empat, yaitu:
Jihad dengan hati Jihad dengan lisan Jihad dengan tangan Jihad dengan pedang
Jihad dengan hati, yaitu jihad melawan syetan dan mengekang hawa nafsu dari malakukan hal-hal yang haram. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Adapun orang-orang yang takut akan adzab Tuhannya dan menjauhi semua yang diharamkan,surgalah tempat tinggal mereka terakhir.”(QS. an-Nazi’at, 79: 40-41)
Jihad dengan lisan, yaitu dengan melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Termasuk kategori ini adalah perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk melawan golongan munafik. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. at-Taubah, 9: 73)
Jadi, jihad terhadap golongan kafir adalah dengan pedang, tetapi jihad terhadap golongan munafik adalah dengan lisan, karena Allah melarang Nabi-Nya untuk membunuh orang munafik yang berada di tangan para sahabat, tetapi beliau jatuhi hukuman atas kejahatan mereka (orang munafiq) terhadap umat Islam. Tindakan ini beliau lakukan, agar tidak dikatakan membunuh sahabat-sahabatnya sendiri, seperti yang diriwayatkan dalam hadits beliau. Begitu juga halnya Nabi saw, berjihad melawan golongan musyrik, sebelum ada perintah secara khusus untuk memerangi mereka.
Adapun jihad dengan tangan, yaitu tindakan para penguasa dalam mencegah para pelaku kemunkaran agar tidak berbuat munkar, kebathilan, dosa-dosa besar dan merusak segala kewajiban, dengan hukuman serius untuk mencegahnya. Antara lain, dengan melaksanakan hukuman pidana terhadap pelaku zina, hukuman terhadap seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa dapat menghadirkan bukti yang sah, atau terhadap peminum khamr.
Adapun jihad dengan pedang, yaitu memerangi golongan musyrik karena mereka melawan Islam. Setiap orang yang dengan susah-payah mengekang hawa nafsunya demi menaati Allah, maka ia telah berjihad di jalan Allah. Akan tetapi, bila kata jihad disebutkan secara umum, maka maksudnya tidak lain dari makna melawan golongan kafir dengan pedang, sampai mereka masuk Islam atau mambayar jizyah (uang jaminan) sebagai tanda tunduk.
Imam Husain bin Muhammad ad-Damaghani menyebutkan tiga macam jihad, yaitu: Pertama, jihad dengan ucapan (lisan), antara lain dalam firman Allah,
Artinya, ”Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu dengan Al-Qur’an ini untuk melawan orang-orang kafir dengan semangat jihad yang besar.” (QS. al-Furqan, 25: 52)
Juga firman-Nya,
Artinya, “Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.“ (QS. at-Taubah, 9: 73)
Kedua, jihad dengan senjata (perang), termaktub pada firman Allah,
Artinya, “Orang-orang mukmin yang tinggal di rumah tidak mau ikut berperang, padahal tidak ada halangan baginya, ia tidak sama martabatnya dengan orang-orang mukmin yang berjihad untuk membela Islam dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu derajat daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah. Masing-masing telah Allah berikan janji pahala di akhirat. Allah lebihkan orang-orang yang berjihad dengan pahala yang sangat besar daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah.” (QS. an-Nisa, 4: 95)
Ketiga, jihad dengan makna beramal shalih, seperti firman Allah,
Artinya, ”Dan barangsiapa yang berjihad (beramal shalih), maka sesungguhnya jihadnya (amal shalihnya) itu untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. al-Ankabut, 29:6)
Dari uraian yang dipaparkan oleh Imam Malik dan Imam Husain ad-Damaghani di atas, menjelaskan bahwa kata jihad yang termaktub dalam al-Qur’an, secara khusus bermakna perjuangan menegakkan Islam dengan senjata, dan secara umum bermakna melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar serta amal-amal shalih yang diperintahkan dalam Islam. Termasuk dalam amal-amal shalih adalah ibadah, bahkan bagi kaum perempuan ibadah haji setara pahalanya dengan lelaki muslim yang berperang di jalan Allah. Maka jihad bermakna amal shalih sangat luas lingkupnya, sehingga hampir setiap orang Islam dapat mengerjakannya. Anak yang berbakti pada ibu-bapaknya, disebut amal jihad, yaitu jihad dalam pengertian amal shalih.
Namun demikian, jihad dalam pengertian berperang melawan kaum kafir untuk menegakkan Islam tidak dapat diabaikan hanya dengan alasan masih banyak peluang beramal shalih yang lain. Orang yang berpendapat, bahwa lebih utama melakukan amal shalih yang lain dan mengabaikan jihad dalam arti khusus itu sebenarnya lebih dekat pada sikap oportunis (munafik).
Sebagian orang saat ini berupaya mengalihkan pandangan umat Islam terhadap pentingnya jihad, yaitu pengalihan mulai dari upaya mempersiapkan diri, berniat melaksanakannya dan hingga mengamalkannya. Untuk melemahkan semangat jihad ini, dalil yang digunakan -seperti dikatakan Ibnu Hajar al-Asqalany di dalam Tasdiidul Qaus, bukanlah hadits, melainkan perkataan seseorang bernama Ibrahim bin ‘Ablah, yang berbunyi,
رجعنا من الجهاد الأصغر إِلَى الْجِهَاد الْأَكْبَر، قيل: وَمَا الْجِهَاد الْأَكْبَر؟ قَالَ:جِهَادُ النَّفْسِ
Artinya, “Kita semua baru kembali dari jihad asghar menuju jihad akbar.” Para sahabat bertanya, “Apakah jihad akbar itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu
Redaksi hadits tersebut tertulis dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karangan Imam Ghazali, tanpa menyebutkan sumber. Sedangkan hadits yang sebenarnya mempunyai lafadz,
عَن جَابر قَالَ: قدم عَلّي رَسُول الله صلى الله عليه وسلم قوم غزَاة فَقَالَ: قدمتم من الْجِهَاد الْأَصْغَر إِلَى الْجِهَاد الْأَكْبَر، قيل: وَمَا الْجِهَاد الْأَكْبَر؟ قَالَ: مجاهدة العَبْد هَوَاهُ.
Artinya, “Dari Jabir, telah datang kepada Nabi sekelompok pasukan perang, lalu Nabi bersabda, “Kamu sekalian telah kembali kepada sebaik-baik tempat kembali dari jihad asghar (jihad kecil) menuju kepada jihad akbar (jihad besar). Para sahabat bertanya, “Apa jihad akbar itu, wahai Rosulullah?” Rasulullah menjawab, “Jihadnya seseorang melawan nafsunya.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Kitabul Zuhud)
Al-Iraqy di dalam Takhriju Ahaaditsil Ihyaa’ mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang dha’if dari Jabir.” Sedangkan Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini dha’if” karena di dalam sanadnya ada perawi bernama Khalaf bin Muhammad bin Ismail al-Khiyam. Dan kata Abu ya’la al-Khalili, “Ia banyak mencampur-adukkan dan ia sangat lemah, meriwayatkan hadits yang tidak dikenal.” ( Tarikh al-Baghdadi, 13/493). Al-Hakim dan Ibnu Abi Zur’ah mengatakan, “Kami banyak menulis keterangan dari Khalaf bin Muhammad bin Ismail hanyalah untuk i’tibar, dan kami berlepas-diri dari mempertanggung-jawabkannya.” (Al-Furqon baina Auliyaa-ir Rahman wa auliyaa-isy Syaitan, hal 44-45)
Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي يَرْوِيه بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَالَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ { رَجَعْنَا مِنْ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ } فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ
Arinya,“Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa Nabi Saw bersabda setelah perang tabuk, “Kita kembali dari jihad asghar menuju kepada jihad akbar, adalah hadits yang tidak ada asalnya, tidak ada seorangpun dari kalangan pakar ilmu hadits yang meriwayatkannya. Dan jihad melawan kaum kuffar adalah amal yang paling agung, bahkan ia adalah perbuatan paling utama yang dilakukan manusia.” [1]
Menurut Imam al-Manawi dalam kitab Faidhul Qodir disebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Atha’ dari sahabat Jabir. Menurut Imam Munawi yang dimaksud Atha’ ini adalah Washil bin Atha’ yang lahir sekitar tahun100 H. Sedangkan Jabir wafat sekitar tahun 78 H. Jadi hadits ini riwayatnya terputus. Namun keterangan Imam Munawi ini keliru karena Atha’ yang dimaksud dalam sanad hadits riwayat Baihaqi itu adalah Atha’ bin Abi Rabbah, seorang tabi’in yang kepercayaan.
Selain diriwayatkan Imam Baihaqi juga diriwayatkan oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikhul kitab, dalam sanadnya ada rawi bernama Yahya bin Abil ‘Ala’. Rawi ini dikenal pendusta, maka hadits riwayat Imam al-Khatibi ini palsu. Adapun hadits jihad ashghar dan jihad akbar yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi tidak melalui Yahya bin Ya’la. Orang ini seorang rawi kepercayaan, namun terkadang keliru dalam meriwayatkan hadits. Karena itu, Imam Baihaqi sendiri menyatakan hadits ini dha’if (lemah).
Adapun pernyataan salah seorang ulama ahli hadits Syaikh al-Albani, bahwa hadits jihad ashghar danakbar semuanya dianggap palsu jelas salah, disebabkan kesalahan beliau dalam identifikasi rawi-rawi hadits riwayat Imam Baihaqi, yaitu: 1. Isa bin Ibrahim, Yahya bin Abi Ya’la dan Raits bin Abi Sulaim, dikatakan dha’if, padahal ketiga orang itu rawi tsiqot (kepercayaan). 2. Ia katakan bahwa hadits ini ucapan Ibrahim bin Ablah, padahal dalam sanad Imam Baihaqi yang ada dalam sanad khatib ada rawi yang bernama Isa bin Ibrahim. 3. Ia samakan rawi bernama Yahya bin Ya’la dengan Yahya bin Abil A’la, padahal yang pertama rawi kepercayaan, sedang yang kedua adalah pendusta. 4. Ia tidak membedakan antara riwayat Imam Baihaqi dengan riwayat al-Khatib, lalu menyimpul hadits tersebut semuanya mungkar (dianggap palsu).
Kesimpulannya, bahwa hadits dengan lafadz, “Kami kembali dari jihad yang lebih kecil ke jihad yang lebih besar” yang ada dalam kitab Yahya karangan Imam Ghazali tidak dikenal. Kemudian hadits dengan lafadz, “Kalian datang ke tempat terbaik, datang dari jihad lebih kecil ke jihad lebih besar” riwayat Baihaqi adalah lemah, tetapi riwayat al-Khatib adalah palsu. Jadi, jihad akbar bukan melawan hawa nafsu, melainkan memerangi golongan kafir yang memerangi umat Islam.
Seorang mujahid di jalan Allah Ta’ala seharusnya memurnikan niatnya dari setiap tendensi pribadi atau tujuan duniawi atau keinginan diri atau kecondongan daerah. Dia tidak menghendaki jihadnya itu dengan kehormatan atau harta rampasan atau prestise atau ketenaran, sebagaimana ia tidak bermaksud untuk meninggikan suatu bangsa atas bangsa lain, atau satu kabilah atas kabilah yang lain, atau satu lapisan masyarakat atas lapisan masyarakat lain dengan jihadnya itu. Yang ia kehendaki hanyalah keridhaan Allah Ta’ala, dengan meninggikan kalimat-Nya, memenangkan Dien-Nya, menjayakan, serta memuliakan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Sebagaimana dakwah, jihad juga memiliki fadhilah yang tinggi, diantaranya yaitu:
1. Jihad fi sabilillah adalah martabat tertinggi dalam Islam
Rasulullah bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ.
Artinya, “Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.”(HR. Thabrani)
2. Mujahidin lebih tinggi derajatnya daripada selainnya
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, ”Orang-orang mukmin yang tinggal di rumah tidak mau ikut berperang, padahal tidak ada halangan baginya, ia tidak sama martabatnya dengan orang-orang mukmin yang berjihad untuk membela Islam dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu derajat daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah. Masing-masing telah Allah berikan janji pahala di akhirat. Allah lebihkan orang-orang yang berjihad dengan pahala yang sangat besar daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah. Di surga, Allah lebihkan orang-orang yang berjihad beberapa derajat. Allah juga berikan pengampunan dan rahmat kepada mereka. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada orang mukmin yang tetap tinggal di rumah.“ (QS. an-Nisaa’, 4 : 95-96)
3. Jihad adalah ibadah dan amal yang paling istimewa
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih di akhirat? Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada Allah, beriman ke­pada Rasul-Nya dan kalian berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar menyadari beratnya adzab akhirat. Allah akan mengampuni semua dosa kalian. Allah memasukkan kalian ke dalam surga-surga. Surga-surga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah memasuk­kan kalian ke tempat tinggal yang indah dalam surga ‘Adn. Itu semua adalah kemenangan yang besar. Hal lain yang kalian inginkan adalah pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Wahai Muhammad, berilah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.“ (QS. as-Shaaf, 61 :10-13)
Abu Hurairah ra berkata ketika Rasulullah ditanya,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Artinya,“Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim)
Pada hadits lain, Abu Hurairah ra berkata ketika Rasulullah ditanya,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
Artinya,“Ya Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi sawtetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim)
Berikut pula hadits yang serupa,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ تَسْتَطِيعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُومَ وَلَا تَفْتُرَ وَتَصُومَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ
Artinya,“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah aku amalan yang dapat menyamai jihad?” Beliau menjawab, “Saya tidak menemukannya.” Kemudian beliau saw bersabda,”Apakah engkau mampu jika orang berjihad itu pergi untuk berjihad, engkau masuk masjid kemudian shalat dan tidak berhenti, dan puasa tidak berbuka hingga orang yang berjihad itu kembali?” Kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang mampu melaksanakan demikian?” (HR. Bukhari)
4. Jihad di jalan Allah adalah jalan utama bagi tegaknya daulah Islamiyah
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian sampai rintangan terhadap pelaksanaan syari’at Islam lenyap, dan manusia mengikuti agamanya semata-ma­ta karena taat kepada Allah. Jika musuh-musuh kalian mau berhenti dari merintangi pelaksanaan syari’at Islam, maka antara kalian dengan mereka tidak ada alasan untuk bermusuhan. Ber­musuhan dibolehkan hanya terhadap orang-orang yang melakukan gangguan pelaksanaan syari’at.” (QS. al-Baqarah, 2:193)
5. Jihad fi sabilillah menjamin seseorang masuk surga, diampuni segala dosa, dan diberi kemenangan dunia dan akhirat
Allah Ta’ala berfirman
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih di akhirat? Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada Allah, beriman ke­pada Rasul-Nya dan kalian berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar menyadari beratnya adzab akhirat. Allah akan mengampuni semua dosa kalian. Allah memasukkan kalian ke dalam surga-surga. Surga-surga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah memasuk­kan kalian ke tempat tinggal yang indah dalam surga ‘Adn. Itu semua adalah kemenangan yang besar. Hal lain yang kalian inginkan adalah pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Wahai Muhammad, berilah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.“ (QS. as-Shaaf, 61 :10-13)
Sementara Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala menjamin bagi orang yang keluar di jalan Allah, (dimana) dia tidak keluar, melainkan karena iman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, bahwasanya Dia akan mengembalikannya dengan mendapat pahala dari Allah atau membawa harta rampasan perang atau Dia memasukkannya ke dalam surga. Dan jika tidak memberatkan umatku, niscaya aku tidak akan ketinggalan menyertai ekspedisi perang. Sesungguhnya aku sangat ingin terbunuh di jalan Allah, lalu dihidupkan kembali, lalu terbunuh, dan dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi.” (HR. Bukhari)
Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Jihad
1. Disiksa dengan azab yang pedih
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya,“ Wahai kaum mukmin, mengapa kalian merasa sangat keberatan ketika diperintahkan kepada kalian: “Pergilah berjihad guna membela Islam?” Apa­kah kalian lebih mencintai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal kesenangan dunia hanyalah sangat sedikit jika dibandingkan de­ngan kesenangan di akhirat. Wahai kaum mukmin, jika kalian tidak mau pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih. Allah akan mengganti kalian dengan kaum lain yang mau berjihad, dan kalian sedikit pun tidak akan dapat merugikan Rasul Allah. Allah Mahakuasa mengatur semua­nya.” (QS. at-Taubah, 9: 38-39)
2. Ditimpa kehinaan yang sangat parah dan kehinaan itu tidak akan hilang sehingga mereka kembali berjihad
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Artinya,“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (HR. Abu Dawud, Silsilah Al-Ahaadits ash-Shahihah Al-Albani no.10-11)
Abu Bakar ash-Siddiq berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  عَامُ أَوَّل فِيْ هَذَا الشَّهْرِ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُوْلُ: مَا تَرَكَ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ أَذَلَّهُمُ اللهُ وَمَا تَرَكَ قَوْمٌ الأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْي عَنِ الْمُنْكَرِ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ.
Artinya, ”Wahai manusia sesungguhnya pada tahun pertama di dalam bulan seperti bulan ini aku telah mendengar Rasulullah berbicara diatas mimbar, “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah hinakan mereka, dan tidaklah suatu kaum meninggalkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar melainkan Allah ratakan azab atas mereka.” (HR. Said bin Mansur)
3. Ditimpakan kefakiran
Sya’bi berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ.
Artinya,“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.” (HR. Ibnu ‘Asakir)
Kefakiran yang dimaksud tersebut bukanlah kefakiran dalam harta benda semata, tetapi dominasinya ialah fakir jiwa, sehingga mereka sangat takut dan gentar berhadapan dan menentang musuh-musuh Allah Ta’ala dan musuh-musuh mereka. Di dalam hadits shahih, Rasulullah menerangkan apa yang dimaksud dengan kaya,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.
Artinya,“Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kaya yang sebenarnya adalah jiwa yang kaya.” (HR. Bukhari)
Itulah definisi kaya yang sebenarnya, sedangkan manusia yang kita saksikan pada masa sekarang ini, ketika mereka telah berpaling daripada jihad, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya kepada berbagai usaha yang berbeda-beda—apatah perkara itu mubah maupun haram, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir. Sehingga mereka banyak menolak kewajiban dan banyak memakan barang haram seperti hasil ruswah (sogokan) dan sebagainya. Dunia atau harta yang sedikit bagi mereka merupakan sesuatu yang membuat mereka sangat bimbang. Allah Ta’ala jadikan mereka hina karena tamak dan rakus, sehingga tidaklah sekali-kali engkau jumpai salah seorang dari mereka yang beranggapan bahwa rezekinya itu datang dari arah dirinya, melainkan ia telah dikuasai oleh kehinaan dan telah diperhamba oleh ketamakan dan rasa takut kehilangan rezeki.
4. Orang yang mengatakan bahwa sekarang bukanlah zaman jihad, dilaknat oleh Allah Ta’ala, malaikat dan manusia
Sesungguhnya Rasulullah bersabda,
لاَ يَزَالُ الْجِهَادُ حُلْوًا خَضِراً مَا قَطرَ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ وَسَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَقُوْلُ فِيْهِ قُرَّاء مِنْهُمْ: لَيْسَ هَذَا بِزَمَانِ جِهَادٍ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ الزَّمَانَ فَنِعْمَ الزَّمَانُ الْجِهَادُ ، قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَو أَحَدٌ يقُوْلُ ذَلِكَ ؟ قَالَ: نَعَمْ ، مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَالْمَلاَئِكَةُ وَالنَّاسُ أَجْمَعُوْنَ.
Artinya, ”Jihad itu akan senantiasa manis dan segar selama hujan turun dari langit. Akan datang suatu zaman pada manusia, yang pada zaman itu ada ulama diantara mereka yang mengatakan, “Sekarang itu bukan zaman jihad lagi.” Siapa yang mengalami zaman tersebut, maka sebaliknya—zaman itu adalah jihad.” Mereka (para sahabat) berkata, ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang berkata semacam itu?” Beliau saw menjawab, “Ya, yaitu orang yang dilaknat oleh Allah, malaikat dan manusia semuanya.” (HR. Said bin Mansur)
5. Orang yang mati sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan
Rasulullah bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
Artinya, ”Barangsiapa yang mati (muslim), sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim)
6. Orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, ia akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ ». قَالَ يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ فِى حَدِيثِهِ : قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya,“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” Yazid bin Abdu Rabbihi berkata, “Didalam hadits yang diriwayatkannya ada perkataan, “Sebelum hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ath-Thabrani, Al-Baihaqi, dan Ibnu ‘Asakir)
Demikian pentingnya seorang mukmin mengetahui dan menyadari urgensi dakwah dan jihad dalam kehidupannya. Zaman kehidupan dimana saat ini manusia berada dalam kegelisahan dan kebingungan, serta ketandusan hati. Zaman dimana manusia bergerak cepat untuk berlomba memenuhi perutnya dan menghiasi dunianya. Maka seorang muslim yang benar-benar mencintai Islam dan keislamannya, ia bersifat totalitas menjadikan syari’at-Nya sebagai pedoman dan tatanan hidupnya, ia rela untuk hidup di bawah naungannya, ia bersedia berkorban dengan materi dan jiwanya demi tegaknya dinullah. Mari camkan perintah Allah Ta’ala,
Artinya, “Hai orang-orang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah, 2:208)
Demikian semoga bermanfaat. - See more at: http://www.arrahmah.com/rubrik/dakwah-dan-jihad-jalan-hidup-mumin-sejati.html#sthash.2qgOx4Jp.dpuf
Pesan ini terlalu panjang. Obrolan Anda tidak terkirim. Silakan gunakan Pesan.
Laskar Pembela Islam
Laskar Pembela IslamDakwah dan jihad, jalan hidup mu'min sejati Saif Al Battar Senin, 27 Jumadil Awwal 1434 H / 8 April 2013 12:33 Dakwah dan jihad, jalan hidup mu'min sejati Ilustrasi
Oleh: Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman
(Arrahmah.com) – Di medan da’wah dan jihad, pada diri seorang muslim sering muncul sifat dan watak tidak adil, berpura-pura dan munafiq. Seperti saat ini yang sebagian daripada ulama’, da’i dan muballigh yang ada cenderung kepada sifat tidak tegas dan berani. Mereka acapkali memilih dan memilah ayat-ayat suci al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw, sehingga tidak mendawamkannya secara utuh.
Ketika ada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw yang dianggap mendatangkan ‘bahaya’ bagi kenikmatan hidup dunianya jika ayat-ayat dan hadits itu dibaca dan diterangkan, maka mereka menyimpannya rapat-rapat seakan-akan ayat–ayat itu apabila dibaca dan diterangkan akan mendatangkan marabahaya kepada diri dan keluarganya dan memusnahkan kehidupan dunianya.
Namun bila bertemu dengan ayat-ayat yang dipandang ‘aman’ bagi keberlangsungan dakwah dan mendatangkan keuntungan bagi ‘pundi-pundi’nya, mereka lantas membacanya, menerangkannya sedemikian fasih, dengan bahasa dan retorika yang mengagumkan, serta dengan lagu dan irama yang sangat indah dan mempesona. Sehingga diantara pengagum dakwahnya ada yang berkata, ”Sungguh hebat da’i ini, dia sangat pandai merangkai kata penghias bahasa, ucapan-ucapannya lembut menusuk qalbu, mudah difahami dan tidak membebani jiwa-jiwa.” Sementara yang lain berkata, “Aku senang dengan da’i ini, dia lucu sehingga kalau mendengarnya berceramah, mata jadi nggak ngantuk…”
Inilah kenyataan yang terjadi pada para pendakwah saat ini, dimana mereka digelari dengan berbagai gelar bak selebriti. Begitu juga tawaran untuk tampil memukau di layar gelas dan terpampang di papan-papan reklame membuat ‘jam terbang’ mereka kontan begitu tinggi dengan pemasukan rupiah yang juga melesat tinggi. Apalah daya, dunia memang telah menjanjikan kemanisan dan memperlihatkan perhiasannya, sehingga sifat istiqomah untuk tegas dalam dakwah perlahan harus terkikis karena dihadapkan dengan sebuah konsekuensi.
Inilah ketidak-adilan dan kemunafiqan yang senantiasa terwujud di tengah kehidupan sebagian ulama, da’i dan muballigh umat Islam saat ini, sehingga umat kebingungan karena sifat mereka yang lebih mementingkan kehidupan dunianya daripada keberanian menegakkan tauhid dan syari’at agamanya. Benarlah apa yang Allah Ta’ala firmankan berikut,
Artinya, “Orang-orang mukmin Madinah berkata, “Alangkah baiknya sekiranya diturunkan sebuah surah al-Qur’an yang jelas tentang perintah perang.” Wahai Muhammad, ketika surah al-Qur’an yang jelas tentang perintah perang diturunkan, kamu saksikan orang-orang munafik itu memandang kamu dengan ke­bingungan karena takut mati. Seharusnya yang lebih patut mereka lakukan adalah taat dan menyambut secara baik perkara yang telah diperintahkan oleh Allah. Bila orang-orang itu jujur kepada Allah, niscaya menaati perintah perang itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad, 47: 20-21)
As-Syahid Sayyid Qutb berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Inilah salah satu sifat dan ciri orang munafiq; keteguhan hati mereka hilang, tabir sifat riya’ yang menutupi mereka pun tersingkap, ketakutan dan kelemahan jiwa mereka terbaca apabila menghadapi perintah berjihad. Mereka telah digambarkan oleh al-Qur’an sebagai seorang lelaki yang sangat memalukan, pengecut dan penakut, berlagak seperti seorang pahlawan di medan perang tetapi hakekatnya pendusta dan penipu. Ungkapan al-Qur’an tentang “Engkau dapat melihat hati mereka berpenyakit (kufur dan nifaq), mereka memandangmu seperti pandangan orang pingsan karena takut mati,” dimaksudkan bahwa karena ketakutannya—mereka menjadi sangat gelisah, karena kelemahan hati—mereka menjadi menggigil, dan karena kepengecutan—mereka diibaratkan seperti orang yang sampai ke tahap pingsan. Sungguh terdapat perbedaan yang sangat jauh dengan karakter orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka siap menjual dunianya untuk akhiratnya, siap berkorban harta dan jiwa, berjihad di jalan Allah demi mencapai syahid fisabilillah untuk kemuliaan di hari akhirat seperti yang Allah Ta’ala firmankan berikut,
Artinya, “Orang-orang yang mengutamakan pahala akhirat daripada kehidupan dunia, hendaklah mereka berperang untuk membela Islam. Siapa saja yang berperang untuk membela Islam, baik ia terbunuh atau menang, Kami akan memberikan pahala yang sangat besar kepadanya di akhirat.” (QS. an-Nisa’, 4:74)
Mendakwahkan yang haq bukan hanya pekerjaan rutin yang harus disandang oleh para da’i, ulama, atau muballigh semata, akan tetapi adalah tugas dari setiap pribadi muslim. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَ لَوْ أَيَةً, وَ حَدِّثُوا عَنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ وَ لَا حَرَجَ, وَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَليَتَبَوَأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Artinya, “Sampaikanlah olehmu daripadaku meskipun hanya satu ayat, dan ceritakanlah bani israil dan tidak berdosa, dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah menempatkan dirinya dalam neraka.” (HR. Bukhari)
Ia adalah panggilan atau seruan kepada Allah Ta’ala dengan menyampaikan atau mengajarkan wahyu-Nya kepada umat manusia. Firman-Nya,
Artinya, “Wahai Muhammad, katakanlah, “Inilah jalanku. Aku mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dengan hujah yang benar. Aku ber­sama para pengikutku mengikuti agama Allah. Mahasuci Allah dan aku sama sekali tidak mau termasuk golongan kaum musyrik.” (QS. Yusuf, 12:108)
Ayat tersebut diatas menjelaskan definisi dakwah secara menyeluruh, yaitu menyeru manusia kepada jalan Allah dan untuk kepentingan agama-Nya, bukan untuk kepentingan para da’i atau pengikutnya. Tiada satu balasan yang diharapkannya dari orang-orang yang mendapat hidayah karena dakwahnya, melainkan semata-mata mengharapkan ganjaran pahala dari Allah azza wa jalla. Sebagaimana para nabi dan Rasul terdahulu yang banyak dikisahkan dalam al-Qur’an.
Dakwah adalah sebaik-baik tugas dan semulia-mulia ucapan yang keluar dari lisan seorang muslim, seperti yang difirmankan-Nya,
Artinya, “Apakah ada orang yang lebih baik daripada orang yang menyeru kepada ajaran tauhid dan taat kepada Allah semata-mata serta beramal shalih, dan dia berkata: “Sungguh aku termasuk kaum muslim?”(QS. Fushilat, 41:33)
Oleh karena itu, orang-orang yang sholih adalah muslim yang senantiasa selalu tegak dengan tugas dakwah ini dalam setiap situasi dan kondisi. Mereka tidak terlena ataupun berhenti dari medan dakwahnya. Mereka amat memahami fungsi dan tujuan dakwah yang sesungguhnya, yaitu sebagaiiqomatul hujjah sehingga tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk membantah dan melakukan penyelewengan terhadap syari’at-Nya. Allah Ta’ala telah berfirman,
Artinya, “Para rasul menyampaikan kabar gembira dan ancaman kepada umat­nya agar kelak di akhirat tidak ada alasan bagi umat-umat para nabi itu untuk membantah Allah dengan me­ngatakan bahwa Allah tidak meng­utus rasul-rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Mahaperkasa menghukum kaum yang durhaka dan Mahabijak­sana dalam memilih hamba-hamba-Nya yang dijadikan rasul.“ (QS. an-Nisa’, 4:165)
Juga firman-Nya,
Artinya, “Wahai Muhammad, ingatlah ketika sebagian pendeta Yahudi ber­kata kepada pengikutnya: “Mengapa kalian memberi nasehat kepada teman-teman kalian yang melanggar aturan Allah tentang hari Sabat? Orang-orang itu akan Allah binasakan, atau mereka akan diadzab di akhirat dengan adzab yang berat.” Para pemberi nasehat itu berkata: “Kami tidak ingin disalahkan oleh Tuhan kalian kelak di akhirat. Mudah-mudahan orang-orang yang durhaka itu mau taat kepada Allah.” (QS. al-A’raf, 7:164)
Adapun metodologi dakwah yang semestinya dipenuhi oleh seorang pendakwah diantaranya adalah bahwa segala perkara harus ia sampaikan dengan benar dan tegas tanpa bercampur dengan syubhat, kemudian ia menyampaikannya dengan hikmah dan mau’idzhah hasanah, dan yang sangat penting adalah ia tidak menambah ataupun mengurangi satu hurufpun dari materi dakwah. Seperti yang Allah Ta’ala serukan dalam firman-Nya,
Artinya, “Apabila dibacakan Al-Qur’an yang berisikan kebenaran yang jelas kepada orang-orang yang tidak mengharap­kan bertemu dengan Kami, mereka berkata: “Wahai Muhammad, datang­kanlah Al-Qur’an yang lain atau tukar­lah isinya dengan hal lain yang kami senangi.” Wahai Muhammad, kata­kanlah kepada kaum kafir: “Aku sama sekali tiada punya hak untuk meng­gantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku takut adzab Tuhanku yang sangat hebat pada hari kiamat, se­kiranya aku durhaka kepada Tuhanku.” (QS. Yunus, 10:15)
Sementara itu, dakwah di jalan Allah Ta’ala mestilah memiliki penopang yang memungkinkannya diterima oleh para mad’u (sasaran dakwah). Penopang yang dimaksud ada yang bersifat maknawi dan ada yang bersifat materil. Adapun penopang yang bersifat maknawi adalah sifat atau karakter yang dimiliki oleh para da’i tersebut, seperti keilmuan terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, kecakapan, kecerdasan, kefasihan bicara, memiliki ketetapan hati dan kesadaran penuh akan misinya meluruskan umat. Diantara yang demikian, penopang yang juga merupakan faktor penting adalah memiliki keberanian yang mendorong mereka untuk menyatakan dan menyuarakan kebenaran tanpa takut terhadap apapun kecuali Allah Ta’ala. Pun sudah seharusnya para da’i memiliki kesiapan rohani untuk memikul resiko perjuangan akan dakwahnya. Karena ada kalanya dakwah haq yang disampaikannya mendapat pertentangan, baik yang disampaikan dengan lisan maupun yang ditunjukkan dengan perlakuan yang arogan dan menyakitkan. Namun seorang pendakwah yang sudah memahami jalan yang sudah ditempuh oleh para nabi dan orang-orang sholih terdahulu akan senantiasa mengingat akan firman-Nya yang mengatakan,
Artinya, “Wahai Muhammad, Kami mengeta­hui bahwa kamu merasa sedih karena ejekan orang-orang kafir. Sebenarnya orang-orang kafir tidaklah mendusta­kan kamu, tetapi mereka mencelakakan diri mereka sendiri karena mereka telah berlaku zhalim kepada Al-Qur’an de­ngan cara mengingkari kebenarannya.”(QS. al-An’am, 6:33)
Adapun penopang yang bersifat materil diantaranya adalah adanya keluarga yang turut mendukung berjalannya dakwah tersebut dan adanya kemampuan dana yang membantu memudahkan terlaksananya dakwah. Namun yang paling terpenting adalah sifat dan karakteristik dari si penyampai dakwah itu sendiri. Para du’at juga sudah semestinya memiliki sifat-sifat memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebenaran yang haq, memiliki keberanian untuk menyampaikan sebuah kebenaran sehingga tidak takut terhadap ancaman atau resiko atas dakwah yang disampaikannya.
Al-Ashbahani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra tentang sebuah sabda Rasulullah berikut,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ, مُرُوا بِالْمَعْرُوْفِ وَ انْهُوْا عَنِ الْمُنْكَرِ قَبْلَ أَنْ تَدْعُوا اللهَ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ وَ قَبْلَ أَنْ تَسْتَغْفِرُوْهُ فَلَا يَغْفِرُ لَكُمْ, إِنَّ الْاَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لَا تَدْفَعُ رِزْقًا وَ لَا يُقْرِبُ أَجَلًا, وَ إِنَّ لْأَحْبَارَ مِنَ الْيَهُوْدِ وَ الرُّهْبَانِ مِنَ النَّصَارَى لَمَّ تَرَكُوا الْأَمْرَ بِالْمَعْرُفِ وَ النَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ لَعَنَهُمُ اللهُ عَلَى لِسَانِ أَنْبِيَائِهِمْ ثُمَّ عَمُّوا بِالْبَلاَءِ.
Artinya, “Wahai semua manusia, anjurkanlah kebaikan dan cegahlah semua yang munkar sebelum kamu minta ampun dan tidak diampuni. Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi munkar itu tidak akan menolak rezeki dan tidak akan mendekati ajal. Sedangkan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani dahulu ketika mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dikritik oleh Allah atas lidah nabi-nabi mereka, kemudian diratakan bala’ atas mereka semua.” (Targhib wa at-Tarhib, 3/162, no. 3497 dan Mazma’ az-Zawaaid, 7/266)
Pertentangan, penolakan, atau usaha mematikan dakwah senantiasa akan selalu muncul dan mengiringi perjuangan dakwah seseorang. Ini merupakan sunnatullah yang telah berjalan sejak masanya para nabi dan rasul terdahulu, sehingga Rasulullah pernah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra berikut,
اَلْمُؤْمِنُ بَيْنَ خَمْسِ شَدَائِدَ: مُؤْمِنٌ يَحْسُدُهُ وَ مُنَافِقٌ يُبْضِغُهُ وَ كَافِرٌيُقَاتِلُهُ وَ نَفْسٌ تُنَازِعُهُ وَ شَيْطَانٌ يُضِلُّهُ.
Artinya, “Orang mukmin senantiasa berhadapan dengan lima ujian yang menyusahkannya, yaitu oleh mukmin yang selalu mendengkinya, oleh munafiq yang selalu membencinya, oleh kafir yang selalu memeranginya, oleh nafsu yang selalu bertarung untuk mengalahkannya, dan oleh setan yang selalu ingin menyesatkannya.”
Namun demikian, seorang mukmin akan selalu berusaha agar dirinya berada dalam satu barisan dengan kaum mukmin yang berjuang mendakwahkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Ia senantiasa menguatkan iman dan tauhidnya, serta mengokohkan tekadnya untuk menghidupkan kehidupannya di jalan Allah Ta’ala. Ia begitu antusias menyampaikan yang haq yang telah diketahuinya kepada umat dan sebagai rasa cinta serta tanggung-jawabnya untuk memberikan fadhilah dakwah, diantaranya yaitu sebagai obat hati bagi jiwa manusia yang sakit serta menghidupkannya, sebagai wasilah untuk mengeluarkan kesesatan manusia kepada hidayah-Nya, serta untuk membantu manusia dalam menghindari azab-Nya.
Oleh sebab itu derajat seorang mukmin yang mencurahkan jiwa dan hidupnya untuk meniti jalan dakwah yang haq berada diatas mukmin lainnya, sebab ia adalah salah-satu dari pewaris para nabi dan rasul yang bertugas sebagai penerus lisan-lisan mereka.
Sudah amat dipahami bahwa dakwah memiliki kaitan yang sangat erat dengan syari’at Allah Ta’ala lainnya yaitu al- jihad. Dalam Islam sebenarnya jihad bukanlah suatu tujuan, akan tetapi merupakan satu washilahatau jalan untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh belahan dunia. Al-jihad bukanlah sebuah letupan sporadis yang kemudian diiringi dengan kevakuman yang panjang, atau bukanlah suatu luapan semangat fanatisme yang kemudian dilanjutkan dengan sikap berdiam-diri setelah melaksanakannya, atau juga bukanlah revolusi kebendaan yang selanjutnya disusul dengan kecondongan kepada materi serta kecenderungan kepada kesenangan duniawi. Tidaklah jihad melainkan ia adalah sebuah upaya untuk menopang keberlangsungan misi dakwah akan dien dan syari’at-Nya di muka bumi, sehingga jihad bukanlah semata perang yang orientasi utamanya adalah kemenangan di lapangan tempur namun vakum dari mendawamkan yang haq.
Jihad berasal dari kata al-juhd yaitu upaya dan kesulitan. Dikatakan jaahada, yujaahidu, jihaadan danmujahaadatan yang artinya mengerahkan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi kesulitan guna memerangi musuh dan menahan agresinya. Dalam pengertian modern dikenal dengan sebutan al-harb (perang), yakni pertempuran antara dua negara atau lebih.
Adapun jihad menurut bahasanya berasal dari kata al-jahdu dan al-juhdu, yakni kekuatan dan kemampuan. Mujaahadatun wa jihadan bermakna mengarahkan dan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan dalam wujud perbuatan dan perkataan dalam perang. Ada yang mengatakan bahwa kata al-jahdu maknanya adalah kepayahan, berlebih-lebih sampai puncak. Sedangkan al-juhdu maknanya ialah daya dan kemampuan. Dan dari asal kata jahada-yahjadu-juhdan serta ijtahada, keduanya bermaknajadda (bersungguh-sungguh).
Perang merupakan hal yang biasa terjadi pada kehidupan manusia dan hampir tidak ada suatu bangsa atau satu generasi pun yang luput dalam catatan sejarahnya dari peristiwa peperangan. Lebih dari itu, perang dibenarkan oleh undang-undang atau syari’at Allah yang ada dalam Islam.
Al-jihad sendiri memiliki beberapa tingkatan, yang terbagi menjadi empat, yaitu:
Jihad dengan hati Jihad dengan lisan Jihad dengan tangan Jihad dengan pedang
Jihad dengan hati, yaitu jihad melawan syetan dan mengekang hawa nafsu dari malakukan hal-hal yang haram. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Adapun orang-orang yang takut akan adzab Tuhannya dan menjauhi semua yang diharamkan,surgalah tempat tinggal mereka terakhir.”(QS. an-Nazi’at, 79: 40-41)
Jihad dengan lisan, yaitu dengan melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Termasuk kategori ini adalah perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk melawan golongan munafik. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. at-Taubah, 9: 73)
Jadi, jihad terhadap golongan kafir adalah dengan pedang, tetapi jihad terhadap golongan munafik adalah dengan lisan, karena Allah melarang Nabi-Nya untuk membunuh orang munafik yang berada di tangan para sahabat, tetapi beliau jatuhi hukuman atas kejahatan mereka (orang munafiq) terhadap umat Islam. Tindakan ini beliau lakukan, agar tidak dikatakan membunuh sahabat-sahabatnya sendiri, seperti yang diriwayatkan dalam hadits beliau. Begitu juga halnya Nabi saw, berjihad melawan golongan musyrik, sebelum ada perintah secara khusus untuk memerangi mereka.
Adapun jihad dengan tangan, yaitu tindakan para penguasa dalam mencegah para pelaku kemunkaran agar tidak berbuat munkar, kebathilan, dosa-dosa besar dan merusak segala kewajiban, dengan hukuman serius untuk mencegahnya. Antara lain, dengan melaksanakan hukuman pidana terhadap pelaku zina, hukuman terhadap seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa dapat menghadirkan bukti yang sah, atau terhadap peminum khamr.
Adapun jihad dengan pedang, yaitu memerangi golongan musyrik karena mereka melawan Islam. Setiap orang yang dengan susah-payah mengekang hawa nafsunya demi menaati Allah, maka ia telah berjihad di jalan Allah. Akan tetapi, bila kata jihad disebutkan secara umum, maka maksudnya tidak lain dari makna melawan golongan kafir dengan pedang, sampai mereka masuk Islam atau mambayar jizyah (uang jaminan) sebagai tanda tunduk.
Imam Husain bin Muhammad ad-Damaghani menyebutkan tiga macam jihad, yaitu: Pertama, jihad dengan ucapan (lisan), antara lain dalam firman Allah,
Artinya, ”Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu dengan Al-Qur’an ini untuk melawan orang-orang kafir dengan semangat jihad yang besar.” (QS. al-Furqan, 25: 52)
Juga firman-Nya,
Artinya, “Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.“ (QS. at-Taubah, 9: 73)
Kedua, jihad dengan senjata (perang), termaktub pada firman Allah,
Artinya, “Orang-orang mukmin yang tinggal di rumah tidak mau ikut berperang, padahal tidak ada halangan baginya, ia tidak sama martabatnya dengan orang-orang mukmin yang berjihad untuk membela Islam dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu derajat daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah. Masing-masing telah Allah berikan janji pahala di akhirat. Allah lebihkan orang-orang yang berjihad dengan pahala yang sangat besar daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah.” (QS. an-Nisa, 4: 95)
Ketiga, jihad dengan makna beramal shalih, seperti firman Allah,
Artinya, ”Dan barangsiapa yang berjihad (beramal shalih), maka sesungguhnya jihadnya (amal shalihnya) itu untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. al-Ankabut, 29:6)
Dari uraian yang dipaparkan oleh Imam Malik dan Imam Husain ad-Damaghani di atas, menjelaskan bahwa kata jihad yang termaktub dalam al-Qur’an, secara khusus bermakna perjuangan menegakkan Islam dengan senjata, dan secara umum bermakna melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar serta amal-amal shalih yang diperintahkan dalam Islam. Termasuk dalam amal-amal shalih adalah ibadah, bahkan bagi kaum perempuan ibadah haji setara pahalanya dengan lelaki muslim yang berperang di jalan Allah. Maka jihad bermakna amal shalih sangat luas lingkupnya, sehingga hampir setiap orang Islam dapat mengerjakannya. Anak yang berbakti pada ibu-bapaknya, disebut amal jihad, yaitu jihad dalam pengertian amal shalih.
Namun demikian, jihad dalam pengertian berperang melawan kaum kafir untuk menegakkan Islam tidak dapat diabaikan hanya dengan alasan masih banyak peluang beramal shalih yang lain. Orang yang berpendapat, bahwa lebih utama melakukan amal shalih yang lain dan mengabaikan jihad dalam arti khusus itu sebenarnya lebih dekat pada sikap oportunis (munafik).
Sebagian orang saat ini berupaya mengalihkan pandangan umat Islam terhadap pentingnya jihad, yaitu pengalihan mulai dari upaya mempersiapkan diri, berniat melaksanakannya dan hingga mengamalkannya. Untuk melemahkan semangat jihad ini, dalil yang digunakan -seperti dikatakan Ibnu Hajar al-Asqalany di dalam Tasdiidul Qaus, bukanlah hadits, melainkan perkataan seseorang bernama Ibrahim bin ‘Ablah, yang berbunyi,
رجعنا من الجهاد الأصغر إِلَى الْجِهَاد الْأَكْبَر، قيل: وَمَا الْجِهَاد الْأَكْبَر؟ قَالَ:جِهَادُ النَّفْسِ
Artinya, “Kita semua baru kembali dari jihad asghar menuju jihad akbar.” Para sahabat bertanya, “Apakah jihad akbar itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu
Redaksi hadits tersebut tertulis dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karangan Imam Ghazali, tanpa menyebutkan sumber. Sedangkan hadits yang sebenarnya mempunyai lafadz,
عَن جَابر قَالَ: قدم عَلّي رَسُول الله صلى الله عليه وسلم قوم غزَاة فَقَالَ: قدمتم من الْجِهَاد الْأَصْغَر إِلَى الْجِهَاد الْأَكْبَر، قيل: وَمَا الْجِهَاد الْأَكْبَر؟ قَالَ: مجاهدة العَبْد هَوَاهُ.
Artinya, “Dari Jabir, telah datang kepada Nabi sekelompok pasukan perang, lalu Nabi bersabda, “Kamu sekalian telah kembali kepada sebaik-baik tempat kembali dari jihad asghar (jihad kecil) menuju kepada jihad akbar (jihad besar). Para sahabat bertanya, “Apa jihad akbar itu, wahai Rosulullah?” Rasulullah menjawab, “Jihadnya seseorang melawan nafsunya.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Kitabul Zuhud)
Al-Iraqy di dalam Takhriju Ahaaditsil Ihyaa’ mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang dha’if dari Jabir.” Sedangkan Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini dha’if” karena di dalam sanadnya ada perawi bernama Khalaf bin Muhammad bin Ismail al-Khiyam. Dan kata Abu ya’la al-Khalili, “Ia banyak mencampur-adukkan dan ia sangat lemah, meriwayatkan hadits yang tidak dikenal.” ( Tarikh al-Baghdadi, 13/493). Al-Hakim dan Ibnu Abi Zur’ah mengatakan, “Kami banyak menulis keterangan dari Khalaf bin Muhammad bin Ismail hanyalah untuk i’tibar, dan kami berlepas-diri dari mempertanggung-jawabkannya.” (Al-Furqon baina Auliyaa-ir Rahman wa auliyaa-isy Syaitan, hal 44-45)
Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي يَرْوِيه بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَالَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ { رَجَعْنَا مِنْ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ } فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ
Arinya,“Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa Nabi Saw bersabda setelah perang tabuk, “Kita kembali dari jihad asghar menuju kepada jihad akbar, adalah hadits yang tidak ada asalnya, tidak ada seorangpun dari kalangan pakar ilmu hadits yang meriwayatkannya. Dan jihad melawan kaum kuffar adalah amal yang paling agung, bahkan ia adalah perbuatan paling utama yang dilakukan manusia.” [1]
Menurut Imam al-Manawi dalam kitab Faidhul Qodir disebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Atha’ dari sahabat Jabir. Menurut Imam Munawi yang dimaksud Atha’ ini adalah Washil bin Atha’ yang lahir sekitar tahun100 H. Sedangkan Jabir wafat sekitar tahun 78 H. Jadi hadits ini riwayatnya terputus. Namun keterangan Imam Munawi ini keliru karena Atha’ yang dimaksud dalam sanad hadits riwayat Baihaqi itu adalah Atha’ bin Abi Rabbah, seorang tabi’in yang kepercayaan.
Selain diriwayatkan Imam Baihaqi juga diriwayatkan oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikhul kitab, dalam sanadnya ada rawi bernama Yahya bin Abil ‘Ala’. Rawi ini dikenal pendusta, maka hadits riwayat Imam al-Khatibi ini palsu. Adapun hadits jihad ashghar dan jihad akbar yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi tidak melalui Yahya bin Ya’la. Orang ini seorang rawi kepercayaan, namun terkadang keliru dalam meriwayatkan hadits. Karena itu, Imam Baihaqi sendiri menyatakan hadits ini dha’if (lemah).
Adapun pernyataan salah seorang ulama ahli hadits Syaikh al-Albani, bahwa hadits jihad ashghar danakbar semuanya dianggap palsu jelas salah, disebabkan kesalahan beliau dalam identifikasi rawi-rawi hadits riwayat Imam Baihaqi, yaitu: 1. Isa bin Ibrahim, Yahya bin Abi Ya’la dan Raits bin Abi Sulaim, dikatakan dha’if, padahal ketiga orang itu rawi tsiqot (kepercayaan). 2. Ia katakan bahwa hadits ini ucapan Ibrahim bin Ablah, padahal dalam sanad Imam Baihaqi yang ada dalam sanad khatib ada rawi yang bernama Isa bin Ibrahim. 3. Ia samakan rawi bernama Yahya bin Ya’la dengan Yahya bin Abil A’la, padahal yang pertama rawi kepercayaan, sedang yang kedua adalah pendusta. 4. Ia tidak membedakan antara riwayat Imam Baihaqi dengan riwayat al-Khatib, lalu menyimpul hadits tersebut semuanya mungkar (dianggap palsu).
Kesimpulannya, bahwa hadits dengan lafadz, “Kami kembali dari jihad yang lebih kecil ke jihad yang lebih besar” yang ada dalam kitab Yahya karangan Imam Ghazali tidak dikenal. Kemudian hadits dengan lafadz, “Kalian datang ke tempat terbaik, datang dari jihad lebih kecil ke jihad lebih besar” riwayat Baihaqi adalah lemah, tetapi riwayat al-Khatib adalah palsu. Jadi, jihad akbar bukan melawan hawa nafsu, melainkan memerangi golongan kafir yang memerangi umat Islam.
Seorang mujahid di jalan Allah Ta’ala seharusnya memurnikan niatnya dari setiap tendensi pribadi atau tujuan duniawi atau keinginan diri atau kecondongan daerah. Dia tidak menghendaki jihadnya itu dengan kehormatan atau harta rampasan atau prestise atau ketenaran, sebagaimana ia tidak bermaksud untuk meninggikan suatu bangsa atas bangsa lain, atau satu kabilah atas kabilah yang lain, atau satu lapisan masyarakat atas lapisan masyarakat lain dengan jihadnya itu. Yang ia kehendaki hanyalah keridhaan Allah Ta’ala, dengan meninggikan kalimat-Nya, memenangkan Dien-Nya, menjayakan, serta memuliakan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Sebagaimana dakwah, jihad juga memiliki fadhilah yang tinggi, diantaranya yaitu:
1. Jihad fi sabilillah adalah martabat tertinggi dalam Islam
Rasulullah bersabda,
رَأْسُ هَذَا الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اْلجِهَادُ، لاَ يَنَالُهُ إِلاَّ أَفْضَلُهُمْ.
Artinya, “Pokok urusan ini adalah Islam, siapa yang masuk Islam pasti ia selamat, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad yang tidak dapat diraih kecuali orang yang paling utama diantara mereka.”(HR. Thabrani)
2. Mujahidin lebih tinggi derajatnya daripada selainnya
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, ”Orang-orang mukmin yang tinggal di rumah tidak mau ikut berperang, padahal tidak ada halangan baginya, ia tidak sama martabatnya dengan orang-orang mukmin yang berjihad untuk membela Islam dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya satu derajat daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah. Masing-masing telah Allah berikan janji pahala di akhirat. Allah lebihkan orang-orang yang berjihad dengan pahala yang sangat besar daripada orang-orang yang tetap tinggal di rumah. Di surga, Allah lebihkan orang-orang yang berjihad beberapa derajat. Allah juga berikan pengampunan dan rahmat kepada mereka. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada orang mukmin yang tetap tinggal di rumah.“ (QS. an-Nisaa’, 4 : 95-96)
3. Jihad adalah ibadah dan amal yang paling istimewa
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih di akhirat? Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada Allah, beriman ke­pada Rasul-Nya dan kalian berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar menyadari beratnya adzab akhirat. Allah akan mengampuni semua dosa kalian. Allah memasukkan kalian ke dalam surga-surga. Surga-surga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah memasuk­kan kalian ke tempat tinggal yang indah dalam surga ‘Adn. Itu semua adalah kemenangan yang besar. Hal lain yang kalian inginkan adalah pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Wahai Muhammad, berilah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.“ (QS. as-Shaaf, 61 :10-13)
Abu Hurairah ra berkata ketika Rasulullah ditanya,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Artinya,“Apakah amal yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Al-jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian amal apalagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim)
Pada hadits lain, Abu Hurairah ra berkata ketika Rasulullah ditanya,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ « لاَ تَسْتَطِيعُونَهُ ». وَقَالَ فِى الثَّالِثَةِ « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لاَ يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلاَ صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
Artinya,“Ya Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali sedangkan jawaban Nabi sawtetap sama, “Engau tidak akan sanggup melaksanakannya.” Kemudian beliau saw bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad fi sabilillah itu seperti orang yang puasa dan shalat, serta membaca ayat-ayat Allah dan ia tidak berbuka dari puasanya dan tidak berhenti dari shalatnya sehingga orang yang berjihad fi sabilillah itu kembali.” (HR. Muslim)
Berikut pula hadits yang serupa,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ تَسْتَطِيعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُومَ وَلَا تَفْتُرَ وَتَصُومَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ
Artinya,“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah aku amalan yang dapat menyamai jihad?” Beliau menjawab, “Saya tidak menemukannya.” Kemudian beliau saw bersabda,”Apakah engkau mampu jika orang berjihad itu pergi untuk berjihad, engkau masuk masjid kemudian shalat dan tidak berhenti, dan puasa tidak berbuka hingga orang yang berjihad itu kembali?” Kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang mampu melaksanakan demikian?” (HR. Bukhari)
4. Jihad di jalan Allah adalah jalan utama bagi tegaknya daulah Islamiyah
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian sampai rintangan terhadap pelaksanaan syari’at Islam lenyap, dan manusia mengikuti agamanya semata-ma­ta karena taat kepada Allah. Jika musuh-musuh kalian mau berhenti dari merintangi pelaksanaan syari’at Islam, maka antara kalian dengan mereka tidak ada alasan untuk bermusuhan. Ber­musuhan dibolehkan hanya terhadap orang-orang yang melakukan gangguan pelaksanaan syari’at.” (QS. al-Baqarah, 2:193)
5. Jihad fi sabilillah menjamin seseorang masuk surga, diampuni segala dosa, dan diberi kemenangan dunia dan akhirat
Allah Ta’ala berfirman
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih di akhirat? Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada Allah, beriman ke­pada Rasul-Nya dan kalian berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar menyadari beratnya adzab akhirat. Allah akan mengampuni semua dosa kalian. Allah memasukkan kalian ke dalam surga-surga. Surga-surga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah memasuk­kan kalian ke tempat tinggal yang indah dalam surga ‘Adn. Itu semua adalah kemenangan yang besar. Hal lain yang kalian inginkan adalah pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Wahai Muhammad, berilah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.“ (QS. as-Shaaf, 61 :10-13)
Sementara Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala menjamin bagi orang yang keluar di jalan Allah, (dimana) dia tidak keluar, melainkan karena iman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, bahwasanya Dia akan mengembalikannya dengan mendapat pahala dari Allah atau membawa harta rampasan perang atau Dia memasukkannya ke dalam surga. Dan jika tidak memberatkan umatku, niscaya aku tidak akan ketinggalan menyertai ekspedisi perang. Sesungguhnya aku sangat ingin terbunuh di jalan Allah, lalu dihidupkan kembali, lalu terbunuh, dan dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi.” (HR. Bukhari)
Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Jihad
1. Disiksa dengan azab yang pedih
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya,“ Wahai kaum mukmin, mengapa kalian merasa sangat keberatan ketika diperintahkan kepada kalian: “Pergilah berjihad guna membela Islam?” Apa­kah kalian lebih mencintai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal kesenangan dunia hanyalah sangat sedikit jika dibandingkan de­ngan kesenangan di akhirat. Wahai kaum mukmin, jika kalian tidak mau pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih. Allah akan mengganti kalian dengan kaum lain yang mau berjihad, dan kalian sedikit pun tidak akan dapat merugikan Rasul Allah. Allah Mahakuasa mengatur semua­nya.” (QS. at-Taubah, 9: 38-39)
2. Ditimpa kehinaan yang sangat parah dan kehinaan itu tidak akan hilang sehingga mereka kembali berjihad
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Artinya,“Bila kamu berjual-beli dengan ‘inah (dengan cara riba’ dan penipuan), mengikuti ekor-ekor lembu, menyukai bercocok-tanam, dan kamu meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kehinaan ke atas kamu yang tidak akan dicabut sehingga kamu kembali kepada agamamu.” (HR. Abu Dawud, Silsilah Al-Ahaadits ash-Shahihah Al-Albani no.10-11)
Abu Bakar ash-Siddiq berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  عَامُ أَوَّل فِيْ هَذَا الشَّهْرِ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُوْلُ: مَا تَرَكَ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ أَذَلَّهُمُ اللهُ وَمَا تَرَكَ قَوْمٌ الأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْي عَنِ الْمُنْكَرِ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ.
Artinya, ”Wahai manusia sesungguhnya pada tahun pertama di dalam bulan seperti bulan ini aku telah mendengar Rasulullah berbicara diatas mimbar, “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah hinakan mereka, dan tidaklah suatu kaum meninggalkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar melainkan Allah ratakan azab atas mereka.” (HR. Said bin Mansur)
3. Ditimpakan kefakiran
Sya’bi berkata,
لَمَّا بويع أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْق صَعَدَ الْمِنْبَرَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ فِيْهِ: لاَ يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ الله بِالْفَقْرِ.
Artinya,“Ketika Abu Bakar as-Shiddiq naik mimbar, beliau menyebutkan hadits dan di dalam hadits itu beliau mengatakan, “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah, melainkan Allah timpakan kefakiran terhadap mereka.” (HR. Ibnu ‘Asakir)
Kefakiran yang dimaksud tersebut bukanlah kefakiran dalam harta benda semata, tetapi dominasinya ialah fakir jiwa, sehingga mereka sangat takut dan gentar berhadapan dan menentang musuh-musuh Allah Ta’ala dan musuh-musuh mereka. Di dalam hadits shahih, Rasulullah menerangkan apa yang dimaksud dengan kaya,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.
Artinya,“Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kaya yang sebenarnya adalah jiwa yang kaya.” (HR. Bukhari)
Itulah definisi kaya yang sebenarnya, sedangkan manusia yang kita saksikan pada masa sekarang ini, ketika mereka telah berpaling daripada jihad, dan berganti dengan menghadapkan perhatiannya kepada berbagai usaha yang berbeda-beda—apatah perkara itu mubah maupun haram, Allah timpakan atas mereka kefakiran hati, terlalu tamak dan sangat bakhil, pelit dan kikir. Sehingga mereka banyak menolak kewajiban dan banyak memakan barang haram seperti hasil ruswah (sogokan) dan sebagainya. Dunia atau harta yang sedikit bagi mereka merupakan sesuatu yang membuat mereka sangat bimbang. Allah Ta’ala jadikan mereka hina karena tamak dan rakus, sehingga tidaklah sekali-kali engkau jumpai salah seorang dari mereka yang beranggapan bahwa rezekinya itu datang dari arah dirinya, melainkan ia telah dikuasai oleh kehinaan dan telah diperhamba oleh ketamakan dan rasa takut kehilangan rezeki.
4. Orang yang mengatakan bahwa sekarang bukanlah zaman jihad, dilaknat oleh Allah Ta’ala, malaikat dan manusia
Sesungguhnya Rasulullah bersabda,
لاَ يَزَالُ الْجِهَادُ حُلْوًا خَضِراً مَا قَطرَ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ وَسَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَقُوْلُ فِيْهِ قُرَّاء مِنْهُمْ: لَيْسَ هَذَا بِزَمَانِ جِهَادٍ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ الزَّمَانَ فَنِعْمَ الزَّمَانُ الْجِهَادُ ، قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَو أَحَدٌ يقُوْلُ ذَلِكَ ؟ قَالَ: نَعَمْ ، مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَالْمَلاَئِكَةُ وَالنَّاسُ أَجْمَعُوْنَ.
Artinya, ”Jihad itu akan senantiasa manis dan segar selama hujan turun dari langit. Akan datang suatu zaman pada manusia, yang pada zaman itu ada ulama diantara mereka yang mengatakan, “Sekarang itu bukan zaman jihad lagi.” Siapa yang mengalami zaman tersebut, maka sebaliknya—zaman itu adalah jihad.” Mereka (para sahabat) berkata, ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang berkata semacam itu?” Beliau saw menjawab, “Ya, yaitu orang yang dilaknat oleh Allah, malaikat dan manusia semuanya.” (HR. Said bin Mansur)
5. Orang yang mati sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan
Rasulullah bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
Artinya, ”Barangsiapa yang mati (muslim), sedangkan ia belum pernah berperang dan tidak pernah tergerak hatinya untuk berperang, maka ia mati pada satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim)
6. Orang yang tidak berperang, atau tidak membantu perlengkapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang pergi berperang dengan baik, ia akan ditimpa kegoncangan sebelum hari kiamat
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِيًا أَوْ يَخْلُفْ غَازِيًا فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ ». قَالَ يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ فِى حَدِيثِهِ : قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya,“Siapa yang tidak berperang dan tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” Yazid bin Abdu Rabbihi berkata, “Didalam hadits yang diriwayatkannya ada perkataan, “Sebelum hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ath-Thabrani, Al-Baihaqi, dan Ibnu ‘Asakir)
Demikian pentingnya seorang mukmin mengetahui dan menyadari urgensi dakwah dan jihad dalam kehidupannya. Zaman kehidupan dimana saat ini manusia berada dalam kegelisahan dan kebingungan, serta ketandusan hati. Zaman dimana manusia bergerak cepat untuk berlomba memenuhi perutnya dan menghiasi dunianya. Maka seorang muslim yang benar-benar mencintai Islam dan keislamannya, ia bersifat totalitas menjadikan syari’at-Nya sebagai pedoman dan tatanan hidupnya, ia rela untuk hidup di bawah naungannya, ia bersedia berkorban dengan materi dan jiwanya demi tegaknya dinullah. Mari camkan perintah Allah Ta’ala,
Artinya, “Hai orang-orang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah, 2:208)
Demikian semoga bermanfaat.