Jumat, 23 Januari 2015

Mengingat Pengkhianatan 18 Agustus 1945

Nuim Hidayat
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok

Masyarakat Madinah yang dibentuk Rasulullah Saw, adalah masyarakat terbaik saat itu. Secara jenius Rasululllah saw menyusun Piagam Madinah, sebagai dasar pembentukan masyarakat. Piagam Madinah adalah konstitusi pertama yang tertulis di dunia.

Bila kita telisik, masyarakat bisa dibangun dengan berbagai macam ikatan : ikatan suku, ikatan kebangsaan, ikatan kepentingan, ikatan materi dan ikatan iman. Ikatan suku adalah ikatan yang lemah, begitu pula ikatan kebangsaan, kepentingan atau materi. Kenapa? Karena ikatan-ikatan seperti itu tidak mempunyai landasan yang kokoh. Ikatan suku dalam sepakbola misalnya, mudah menyulut permusuhan bahkan seringkali pembunuhan. Ikatan kebangsaan membuat sebuah bangsa egois terhadap bangsanya dan tidak mau atau kurang peduli terhadap nasib bangsa lain.

Pertanyaannya bolehkah manusia berkumpul dengan ikatan-ikatan selain iman? Boleh saja. Tapi syaratnya ikatan iman menjadi landasan pertama. Karena ikatan iman adalah ikatan yang sangat kokoh. Ia mempunyai landasan yang kuat yang berasal dari yang menciptakan manusia, Allah Swt. Masyarakat yang dilandasi dengan ikatan iman, maka ia menjadi masyarakat yang hebat karena akan bergerak ke   arah yang jelas. Bergerak ke arah masyarakat yang tinggi peradabannya, sesuai dengan karakteristik peradaban yang dibangun Sang Pencipta di bumi ini. Di mana Allah menciptakan peradaban alam di bumi yang penuh keseimbangan. Peradaban yang saling membutuhkan antara alam manusia, alam hewan dan alam tanaman.
Allah SWT berfirman :

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara (penjelasan/albayan). Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Da tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan mizan (kesetimbangan/keadilan).”

Start of the End, begitu kata seorang pakar manajemen. Bila sebuah masyarakat atau bangsa dibangun dengan landasan yang tidak jelas, maka perjalanan ke depannya juga tidak jelas. Maka pembangunan sebuah bangsa meski dimulai dengan sebuah ikatan yang paling kuat, yaitu ikatan iman. Laksana bangunan, untuk membangun sebuah gedung pencakar langit, maka fondasi yang dibangun harus diperhitungkan benar-benar menghunjam ke bumi.

Prof Akram Dhiyauddin Umari menyatakan : “Islam membangun masyarakat Madinah atas dasar cinta dan saling tolong menolong. Dalam sebuah hadits disebutkan: ”Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang atau kedekatan hubungan mereka seperti satu badan. Jika ada anggota badan yang sakit, maka seluruh badan akan merespons dengan kesiagaan dan demam.” (HR Muslim). Cinta, perasaan kasih sayang dan menyambung hubungan silaturahmi membentuk dasar hubungan anggota masyarakat Muslim, tua atau muda, kaya atau miskin, pemimpin atau rakyat jelata.”

Indonesia

Sebelum merdeka para pahlawan kita sebenarnya sudah memperhitungkan bagaimana nanti bangsa ini dibangun. Mereka ingin agar anak-cucu bangsa ini kelak dapat menjadi ‘manusia yang shaleh dan hebat’, sehingga menjadi teladan-teladan bangsa lain.

Maka tahun 30-an muncullah tokoh bangsa Mohammad Natsir dan Soekarno berdebar soal negara. Natsir menginginkan negara ini dibangun atas landasan keimanan, sedangkan Soekarno ingin negara ini dibangun atas landasan sekulerisme. Soekarno mengharapkan negara ini dibangun atas asas sekulerisme. Natsir mengharap negara ini dibangun landasan iman/Islam. Soekarno mengidolakan Kemal Attaturk. Natsir mengidolakan Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin.

Dalam perjalanan bangsa ini Natsir kalah. Soekarno menang menjadi presiden. Ia pun dengan gigih melaksanakan sekulerisme. Mulai dari perancangan naskah proklamasi yang dirundingkan di rumah Laksamana Maida (banyak orang abangan di situ) sampai dengan pencoretan kata Islam di UUD 45. Seperti diketahui harusnya ketika proklamasi yang dibaca adalah Piagam Jakarta/Pembukaan UUD 45 dan UUD yang digunakan adalah naskah Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang telah diputuskan oleh Tim Sembilan yang merupakan tim kerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. (Lebih lanjut baca Piagam Jakarta, Endang Saefuddin Anhari dan Pancasila, Adian Husaini).

Soekarno, yang saat itu berpandangan sekuler (Marhaenisme), rupanya tidak suka bila negeri ini didasarkan pada asas iman/Islam. Maka ia dengan kawan-kawannya akhirnya ‘mengadakan rekayasa’ sehingga terjadilah tanggal 17 dan 18 Agustus 1945, kata-kata ‘Islam’ dihilangkan dalam UUD 45. Perubahan penting terjadi 18 Agustus 1945, Soekarno memimpin sidang menghapuskan kata “Islam” di UUD 45.   Saat itu dengan ‘banyak koleganya’ (empat tokoh Islam di Tim 9 tidak ada yang hadir), Soekarno menghapuskan : Kata Mukaddimah diganti dengan Pembukaan, kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’ bagi pemeluk-pemeluknya’ diganti dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa dan kata Presiden ialah orang Indonesia asli dan Islam’, kata Islam dihilangkan.

Karena tindakan Soekarno seperti itu, Natsir menanggapi dengan menyatakan : “ Utusan tersebut (yang menemui Hatta—pen) tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warganegara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi, hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian Timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita  beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.”

Jenderal Abdul Haris Nasution, pada peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963, menyampaikan satu pidato berjudul ‘Pancasila itu pun  Pencerminan dan Hasil daripada Hikmah Piagam Jakarta.’ Dalam pidatonya Nasution menceritakan, bahwa penyusunan Piagam Jakarta tidak lepas dari adanya 52.000 surat yang dikirimkan oleh para ulama se-Indonesia ke Djawa Hokokai.

Melihat Soekarno bertindak ‘mengkhianati’ perjanjian sebelumnya, Natsir tidak mau mengambil langkah senjata. Karena begitu cinta kepada kemerdekaan, Natsir dan kawan-kawan ikut menjadi anggota kabinet di masa Soekarno. Natsir bahkan pernah menjadi Menteri Penerangan dan tulisan-tulisannya sering menjadi bahan pidato Soekarno. Natsir juga pernah menjadi Perdana Menteri di masa Soekarno menjadi presiden.

Natsir dan tokoh-tokoh Islam karena menginginkan negeri ini diwarnai islam, maka beberapa bulan setelah merdeka, membentuk Partai Masyumi. Sedangkan Soekarno dan kawan-kawannya sebelumnya mendirikan Partai Nasional Indonesia. Partai Masyumi didirikan pada November 1945 di Yogyakarta. Tokoh-tokoh Islam hampir dari semua ormas hadir disitu. Dalam Muktamar itu, Partai Masyumi menegaskan partainya partai islam dan ingin memberlakukan hukum-hukum Islam di Idonesia. Masyumi berkeyakinan bahwa hukum Islam membawa manfaat yang besar bagi bangsa Indonesia dan bahkan dunia. Hukum Islam membawa manfaat besar baik bagi pelaku negara atau negara itu sendiri.

Dalam tafsir asasnya Masyumi menyatakan : “Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS Ali Imran 112)

Berikutnya Masyumi menyatakan : “Keadaan dunia di masa ini sangat mengkhawatirkan. Dalam perhubungan internasional, yaitu antara negara-negara terdapat dua fihak yang bertentangan. Yang satu di sebelah Barat dengan pimpinan Amerika Serikat, yang lain di sebelah Timur dengan pimpinan Soviet-Rusia. Masing-masing dengan sekutunya dan pengikutnya dan daerah-daerah pengaruhnya. Dua fihak yang saling mengakui cita-cita perdamaian dan kemerdekaan serta kesejahteraan hidup untuk segala manusia, masing-masing menuduh bahwa fihak lain sedang menjalankan tipu muslihat dan daya upaya kekuasaan harta dan ancaman. Bahkan paksaan dengan kekerasan untuk menaklukkan seluruh dunia ke bawah kekuasaannya serta bersiap lengkap untuk menyalakan perang dunia yang dahsyat untuk membinasakan lawannya.

Pertentangan-pertentangan itu mempengaruhi kehidupan tiap-tiap negeri dengan tidak kecualinya di medan ekonomi, berkenaan dengan penghasilan dan pembagian rezeki. Di medan politik berkenaan dengan perjalanan pemerintahan. Di medan kultur kebudayaan mengenai cara berfikir, adab sopan santun dan kesenian. Di medan social berkenaan dengan perhubungan golongan-golongan dalam masyarakat. Pendeknya di segala lapangan kehidupan negara.” (Lihat Alam Fikiran dan Jejak Perjuangan, Prawoto Mangkusasmito).

Mengapa kita membahas kembali sejarah 18 Agustus 1945? Ya karena sejarah itu sangat penting. Apalagi sejarah Islam bangsa ini. Karena bangsa ini sebelum tahun 1945 telah diperjuangkan dengan keringat dan darah oleh pahlawan-pahlawan Islam.  Baik ketika melawan penjajah Katolik Portugis maupun penjajah Kristen Belanda. Selain juga penjajah-penjajah pikiran, seperti ideologi Marxisme/Komunisme atau Liberalisme.

Di Aceh muncul pahlawan Teuku Umar Tjut Nyak Dien dan lain-lain. Di Jawa muncul Diponegoro, Jenderal Sudirman, Bung Tomo dan lain-lain.   Di Ternate muncul Sultan Baabullah dan lain-lain. Para pahlawan-pahlawan itu –sebagaimana juga para ulama yang menyebarkan Islam pertama kali ke Nusantara-Melayu- tidak mengharapkan jabatan atau harta benda melimpah ketika mereka berjuang. Mereka berjuang karena agama/Al Quran memerintahkan untuk melawan kezaliman (penjajah yang zalim). Dalam jiwa mereka terpatri jiwa merdeka, hanya tunduk kepada Allah SWT bukan kepada makhluk apalagi penjajah.  Hidup Mulia atau Mati Syahid semboyan mereka. Kata-kata ‘Allahu Akbar’ selalu diserukan para pahlawan, bila mereka berhadapan dengan para penjajah.

Walhasil, meski tanggal 18 Agustus 1945, aspirasi Islam yang terwujud dalam Piagam Jakarta telah dicopot dari landasan negara. Kita tak perlu berkecil hati. Karena bila Piagam Jakarta bermakna syariat, maka Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna Tauhid, seperti diungkapkan Mohammad Hatta. Dan apalagi Piagam Jakarta menjiwai Pancasila telah diakui sendiri oleh Presiden Soekarno, dalam Dekritnya 5 Juli 1959.

Aspirasi Islam itu akan selalu mewarnai negeri ini. Karena negeri ini adalah negeri Islam. Negeri yang penduduknya mayoritas umat Islam. Bagaimanapun penjajah atau sekelompok orang mencegah aspirasi Islam, ia akan terus tumbuh dan berkembang. Karena Islam hakikatnya sesuai dengan fitrah manusia.

KH Saifuddin Zuhri menyatakan : “Aspirasi Islam itu senantiasa tumbuh melandasi aspirasi nasional kita yang berkembang menjadi budaya nasional yang bercorak Islam dan berjiwa patriotik. Hanya saja tiap-tiap dihadang oleh kekuatan yang hendak menghambat Islam, maka orang-orang Islam menjadi bangkit semangatnya untuk mempertahankan keyakinan mereka. Hal demikian itu adalah konsekuensi logis dan bukan radikalisme apalagi ekstrim.”

Dalam pidato pada hari peringatan Piagam Jakarta 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KH M Dahlan tokoh NU yang juga Menteri Agama menyatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan sehari-hari mereka.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, GIP).

Insya Allah bermanfaat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar